Duniabola99.com – Walaupun sebagai staff, karena sebelumnya perumahan sudah diisi oleh sebagian karyawan yg sudah duluan
menempati, saya menempati rumah kopel kayu (dua rumah dempet menjadi satu bangunan) ketiga dari
ujung dan agak kecil yg sebenarnya fasilitas untuk karyawan biasa. Manager pabrik sendiri menganjurkan
agar memindahkan karyawan yg sudah menempati fasilitas rumah (rumah single beton) yang sebenarnya
diperuntukkan bagi staff bujangan maupun keluarga, tapi untuk mengambil hati para karyawan yang mana
nantinya juga akan menjadi bawahan saya. Akhirnya sayapun minta agar diijinkan menempati rumah kopel
ketiga dari pinggir menghadap ke timur berhadapan dengan rumah yang menghadap ke barat dibatasi oleh
jalan besar belum diaspal tapi sudah dikerasin. Hokibet
Rumah tetangga sebelah kiri yang agak berjarak tanah kosong selebar satu rumah ditempati oleh karyawan
laki-laki yang sudah berkeluarga teapi istrinya masih tinggal di rumah orangtuanya , jauh dari lokasi
perkebunan. Biasanya dia pulang sekali sebulan untuk mengantarkan gaji bulanan untuk nafkah anak
istrinya.
Rumah sebelah kanan yang merupakan pasangan rumah kopelku ditempati oleh karyawan laki-laki berumur
35 tahun, sebut saja namanya bersama Nardi bersama istrinya yang berumur 33 tahun, sebut saja namanya
Hartini. Hartini walaupun bukan termasuk wanita kota, tapi sangat modis dan mengikuti kemajuan jaman
disesuaikan dengan kondisi ekonomi. Yang paling membuat saya sangat kagum adalah bentuk payudara
yang sangat berisi dan body yang cenderung montok. Dengan kondisi rumah kopel kayu seperti itu biasanya
sepelan apapun pembicaran ataupun gerakan dalam rumah akan terasa di rumah sebelah. Dan saat itu
kebetulan Nardi masuk dalam shift-1 dibawah pimpinan saya.
Karena saya masih bujangan dan memang bukan tipe yang rajin ngurus rumah, untuk makan biasanya saya
makan di warung yang berada di luar lingkungan perumahan berjarak sekitar 500 meter dari perumahan
pabrik dan 50 meter dari pabrik. Untuk cuci pakaian, aku usahakan cuci sendiri walaupun hanya satu kali
seminggu. Seringkali kalau udah malam atau hujan, terpaksa aku tidak makan nasi, hanya mengandalkan mi
instant yang direbus seadanya. Karena mungkin kasihan, pada suatu sore sepulang kerja shift-1 pagi, kami
bertiga, aku, Nardi dan Hartini ngobrol di teras, dan saat itu Nardi yang menjadi bawahanku itu
menyarankan agar makan di rumahnya saja setiap hari dengan membayar secukupnya kepada istrinya.
Akhirnya terjadi kesepakatan untuk makan setiap hari sekalian cuci pakaian ditanggung jawabi oleh Hartini.
Karena setiap hari berdekatan dan makan bersama semakin lama hubungan kamipun semakin akrab dan
tidak sungkan lagi ngobrol berdua tanpa suaminya.
Awal kejadian pada suatu sore sepulang kerja sekitar jam 16.00, dan Nardi masih lembur di pabrik untuk
mencari tambahan aku dan Hartini duduk ngobrol di teras. Saat itu aku menanyakan kenapa mereka yang
sudah menikah 9 tahun belum punya anak. Dia dengan malu-malu bercerita bahwa mereka sudah sangat
menginginkan anak dan sampai saat ini Hartini sudah periksa ke dokter dan dinyatakan tidak ada masalah,
dan suaminya sendiri katanya tidak mau periksa karena merasa tidak ada kelainan dalam hal fisik, dan
kebutuhan batin istrinya sanggup terpenuhi. Dari situ, semakin lama pembicaraan kami semakin bebas
sampai saya bercerita bahwa aku pernah mempunyai bekas pacar yang fisiknya agak montok seperti
Hartini, dan iseng-iseng aku mengatakan bahwa biasanya wanita yang cenderung gendut mempunyai
payudara yang lembek dan turun dan rambut vagina sedikit dan jarang-jarang. Hartini membantah bahwa
tidak semuanya begitu, dan dia sendiri mengatakan bentuk kepunyaan dia sangat bertolak belakang dengan
yang saya katakana. Karena saya penasaran saya katakana bahwa Hartini pasti bohong, tapi dia menyangkal,
akhirnya dengan jantung berdebar keras takut kalau Hartini marah saya minta tolong apabila bersedia ingin
melihatnya. Tapi mungkin demi menjaga agar dia tidak dianggap murahan, dia menolak keras, lama
kelamaan saya memohon dengan muka pura-pura dibuat kasihan ditambah alasan bahwa sudah kangen
banget sama pacar yang saat itu berada di Jakarta yang biasanya sekali seminggu bertemu, akhirnya dia
mengatakan dengan pipi merah bahwa saya boleh melihat dia tapi dari jauh dan tidak boleh menyentuhnya.
Saya tentu saja dengan cepat menyetujuinya. Dengan gerak malas-malasan atau dibuat pura-pura berat hati,
dia berjalan menuju kamar belakang yang berdampingan dengan kamar depan dan tak lupa menutup jendela
belakang yang berhadapan dengan lahan perkebunan masyarakat untuk menjaga apabila secara kebetulan
ada orang yang bekerja di lahan tersebut. Kemudian dia berdiri sambil tersenyum malu-malu kepada saya
yang tak mau melepasakan pemandangan indah tersebut dari jendela depan yang sengaja saya atur posisi
saya masih di teras tetapi kepala saya melongok ke dalam rumah seakan-akan kalau orang melihat dari
halaman ataupun lewat dari jalanan kami sedang berbicara dengan orang yang berada di dalam rumah. Jarak
antara posisi duduk saya (diperbatasan teras rumah saya dengan rumah dia) hanya berjarak sekitar empat
meter saja keposisi dia berdiri di kamar belakang.
Dengan lagak seorang model dia bergerak pelan-pelan membuka kaos birunya sambil jalan ke kiri dan
kanan secara perlahan sampai ke balik pintu kamar sampai mata saya kadang tidak mampu melihat
pemandangan yang mengasyikkan, tetapi setiap mau ke arah balik pintu saya perlahan teriak
“Tin, jangan sampai kesitu dong, gua nggak bisa lihat nih.”.
Sepertinya Hartini memang sengaja membuat saya penasaran. Kaos yang ditarik ke atas lalu dijepit olejh
ketiaknya dan kelihatan BH berwarna merah menyala seakan-akan tidak mampu menutupi semua payudara
montok putih yang menyembul keluar dari bagian atas BH nya seakan-akan protes mengapa dia dijepit
terlalu keras. Setelah didiamkan sekitar 30 detik, sambil tersenyum mengedipkan mata sebelah kepada saya,
dia pun mulai membuka kancing depan BH dan membiarkan cup BH nya menjuntai kebawah.
(Akhirnya saya ketahui bahwa Hartini mempnyai ukuran 36 dan cupnya saya kurang tau, yang jelas satu telapak tangan saya masih belum bisa menutupi sebelah payudaranya dan dia mempunyai BH yang tidak mempunyai kancing di belakang). Mata saya seakan-akan mau keluar melihat pemandangan tersebut, sedangkan dia sendiri seakan-akan bangga menatap bagaimana saya sangat terpesona dengan payudaranya dengan puting sebesar puntung rokok Sampoerna Mild dan berwarna coklat kemerahan . Dalam 30 detik seakan-akan saya
tidak bernafas tidak mau melepaskan pandangan saya sampai akhirnya dia berseru pelan “Udah ya, ntar lagi suamiku pulang” Saya tidak dapat berkata apapun saat itu dan sesudah merapikan pakaiannya, Hartini kembali ke teras seakan-akan tidak terjadi apa-apa kecuali berdiam diri dan duduk diteras rumahnya sedangkan saya sudah pindah duduknya kembali ke teras rumah saya. Setelah beberapa lama, perlahan berkata, “Jangan bilangin sama siapa-siapa ya?” kelihatannya Hartini sangat ketakutan apabila diketahui orang lain.
“Jelas dong, masak gua bilangin sama orang, kan gua juga menanggung resiko” Sesaat kemudian dari jauh sudah kelihatan bahwa Nardi sudah pulang bersama teman-temannya yang ikut lembur. Kami pun berusaha berbicara normal tidak perlahan lagi tetapi membicarakan yang lain.
Setelah menaiki tangga, Nardi langsung menyerahkan tas bekalnya kepada Hartini dan Hartini langsung
membawa masuk sambil memberesi tempat bekal suaminya. Saya dan Nardi ngobrol sebagaimana layaknya
bertetangga walaupun dia tetap menaruh hormat karena bagaimanapun kalau di pabrik dia menjadi bawahan
saya.
Malamnya saya terus memikirkan persitiwa tadi sore, kenapa dia bersedia menunjukkan sesuatu yang
harusnya hanya boleh dilihat oleh suaminya, padahal dia mengatakan dalam hal kepuasan batin dia
mengakuinya. Dalam hati saya berniat untuk lebih jauh., lagi mengingat bahwa Hartini tidak marah.
Besoknya kira-kira dalam situasi yang sama sepulang kerja kami ngobrol kembali, dan saya beranikan untuk
memancing lagi.
“Kemarin memang benar ya, punya kamu memang bagus sekali bukan karena BH”.
Dia tersenyum manis sedikit malu mungkin merasa bangga dengan pujian yang keluar dari mulut saya.
“Tapi saya nggak yakin bahwa rambut bawah kamu bukan seperti yang saya lihat punya bekas pacarku
dulu”
Dengan masih tertawa kecil dia memperbaiki rambutnya dengan kedua tangannya.
“Kan kemarin aku bilang apa, sekarang minta itu, sekarang ini, besok minta yang lain lagi dong Awas lho
nanti ketahuan pacarmu yang sekarang di Jakarta, tau rasa deh.”
“Nggak mungkin dia tahu, kecuali kamu yang bilanginnya”
Walaupun saya menjawab mengatakan tidak perlu khawatir, tapi dalam hati saya bertanya kenapa justru
pacar saya yang dia khawatirin bukannya diri sendiri atau suaminya. Berkat bujukan dan rayuan seorang
laki-laki walaupun bukan seorang ahli, dia berkata perlahan
“Tapi ingat ya, hanya sebentar dan sekali ini saja ya. Aku takut nanti ketahuan sama suamiku, bisa dibunuh
aku nanti. Sekalian awasi orang lain mana tau ada yang mau kesini”
Saya hanya mengangguk cepat, tak sabar melihat pemandangan yang akan saya lihat.
Perlahan Hartini berjalan menuju kamar belakang sambil saya menikmati pantatnya seperti pantat bebek
sedang berjalan. Pemandangan dari belakang membuat penis saya sudah mulai naik dan saya langsung
membereskan posisi kontol saya agar tidak sakit. Sesampai di kamar dia pun sepertinya agak gugup
mengintip sekeliling luar rumah dari celah papan. Sebentar kemudian dia menaikkan rok katun berwarna
hitam setinggi lutut sampai celana dalam merahnya kelihatan. Mata saya seakan tidak mau berkedip takut
melewatkan pertunjukan gratis tersebut. Dia menatap saya dengan mata gugup, sepertinya ingin pertunjukan
tersebut.
“Lex, udah lihat kan” teriaknya perlahan seperti berbisik.
“Kan belum dibuka, tadi udah janji boleh lihat dari jauh. Kalau nggak aku aja deh yang buka ke situ ya”
sahutku dengan perlahan sambil mata mengawasi sekeliling, tapi saya yakin masih kedengaran kepada dia.
“Jangan …jangan kesini, disitu aja.”dia menjawab sepertinya ketakutan. Saya pun menganggukkan kepala .
Kemudian dia melepaskan lagi rok yang sebelumnya diangkat sampai jatuh seperti posisi biasa, dan kedua
tangannya masuk dari bawahnya menurunkan CD sampai lepas, dengan sebelah tangan masih memegangi
CD kemudian Hartini mengangkat roknya kembali ke atas. Ya ampun……
Vaginanya sepertinya tertutupi oleh pegunungan hitam. Dia menatap saya dan mengangguk dengan ekspresi
meminta persetujuan agar selesai. Saya sendiri berusaha agar lebih lama lagi menonton, tapi 15 detik
kemudian dia langsung membungkuk dan memakai kembali CD nya. Kemudian dia membuka pintu kamar
belakang untuk menghilangkan kecurigaan suaminya apabila pulang nantinya dan langsung menuju dapur
untuk memberesi makan malam kami nantinya dan tidak bertemu lagi sampai kami makan malam. Dalam
hati saya mulai yakin bahwa saya tidak bertepuk sebelah tangan. Selama ini apabila saya merasa sudah
horny, sayang melampiaskan dengan onani di kamar sambil tiduran ataupun di kamar mandi.
Semenjak kejadian tersebut saya mulai berani memeluk, mencium maupun meraba sekalian menciumi buah
dadanya sewaktu giliran Hartini mau mengantarkan pakaian bersih dan menyusun di lemari pakaianku yang
saya tempatkan di kamar tidurku. Biasanya sewaktu dia mau ngantar pakaian di depan pintu kamar biasanya
dia sudah kasih kode jari di mulut, memberi info tidak aman. Apabila aman dia cuma senyum kecil, saya
mengartikan isyarat aman. Disaat seperti itulah biasanya saya bisa menikmati bibir maupun teteknya.
Kadang saking gemasnya saya tak sadar mengisap puting buah dadanya sampai dia kesakitan dan berbisik
“Lex…. Jangan keras-keras. Emang nggak sakit.”
Biasanya saya langsung minta maaf dan mengelus-elus buah dadanya dengan mesra. Ada kalanya Hartini
tidak mau dicium karena sedang pake pewarna bibir, katanya nanti kalau dicium bisa hilang, suaminya bisa
curiga, Sampai sampai sewaktu memberikan uang makan dan cuci pakaianku pun selalu saya menaruhnya
sendiri ditengah buah dadanya baru saya tutup sendiri BH nya dan diakhiri dengan senyum dan cium.
Puncak perselingkuhan kami adalah saat saya mau masuk shift sore, masuk jam empat sore dan biasanya
pulang jam 12 malam, kalau buah sawit sedang panen raya dan menumpuk biasanya diteruskan sampai pagi.
Setiap shift sore biasanya saya akan pulang sekitar jam 7 atau 8 malam untuk malam, sementara bisa
bergantian dengan asistenku, biasanya jatah satu jam. Dan suami Hartini yaitu Nardi biasanya karena tidak
punya kendaraan, malas pulang dan sudah membawa bekal dari rumah sore harinya. Sore itu sekitar jam 2
siang saya sudah mandi dan bersiap-siap mau berangkat, karena sebagai kepala shift harus koordinasi dulu
dengan kepala shift pagi, dan saya masih memakai handuk bertelanjang dada di kamar, Hartini datang ke
kamar sambil menaruh jari diatas bibir, pertanda tidak aman. Saya berbisik,
“Emang dimana suamimu”
“Itu masih lagi tidur di kamar” jawabnya perlahan. Hartini pun berjalan menuju lemari pakaianku sambil
tangan kirinya mencubit puting tetekku. Saya merasa geli, dan mau membalas mencubit teteknya. Dia
mengelak sambil berbisik,
“Jangan sekarang, ntar malam aja, waktu pulang makan”
“Dimana”
“Ntar ke kamar saja langsung, pintu belakang tidak kukunci, hanya ditutupkan saja”
“Tapi nanti jangan pake apa-apa ya.“ godaku pelan sambil main mata
Saya diam memikirkan kata-katanya, Sambil berjalan ke teras saya masih sempatkan meraba pantatnya
sampai dia menepiskannya. Saya kaget memikirkan ada apa Hartini malah mengundang saya malam-malam
ke kamarnya.
Sampai di pabrik saya tidak konsentrasi dalam mengawasi karyawan melakukan tugas masing-masing dan
masih memikirkan apa maunya Hartini. Saya sengaja agak lebih lama pulang makan malamnya sekitar jam
8.30 malam, dan suasana perumahan sudah agak sepi karena gerimis dari sore. Saya langsung menempat
motor dinas ke belakang rumah agar tidak menyolok dari luar. Saya masuk rumah dan menyalakan lampu
sebentar kemudian dari celah papan, saya mengintip rumah sebelah dan kelihatan rumah sangat gelap,
karena biasanya pada saat tidur memang kebiasaan lampu dimatikan. Pandangan orang dari luar kalau lampu
sudah dimatikan biasanya enggan bertamu paling tidak kalau tidak benar-benar penting sekali.
“Tin…..udah tidur ya, kesini dong?” teriakku pelan, sampai dua kali saya berteriak pelan, Hartinipun
mendekat dibatasi oleh papan pembatas berbisik
“Pintu belakang tidak dikunci, Alex aja yang kesini”
Sayapun berjalan menuju kebelakang rumah sambil mematikan lampu ruang tengah, sehingga dari luar
kelihatan saya sudah pergi kembali ke pabrik. Karena sangat gelap saya membiasakan mata dulu, baru
mengawasi sekeliling. Mengingat kaos kerja yang saya pakai berwarna putih, saya membuka dan
menyangkutkan di pintu belakang sebelah dalam. Lalu berjingkat-jingkat perlahan saya menuju pintu
belakang rumah Hartini. Dengan sangat hati-hati saya mendorong pintu, takut mengeluarkan suara dan
berjalan pelan sekali sambil menahan nafas, takut getaran kaki saya di lantai papan kedengaran sama orang
lain. Memasuki kamar depan, Hartini kelihatan tidur dengan memakai kain sarung sebatas dada dan kaos
you can see berwarna pink yang bisa saya lihat dari cahaya lampu jalan di depan rumah masuk dari celah
papan kayu. Hartini berpura-pura memejamkan mata. Saya langsung jongkok di sampingnya dan meraba
bua dadanya tanpa membuka kain sarungnya. Dia melirik sambil tangannya mencubit pipi saya. Saya
teruskan dengan mencium bibirnya. Tak lama kemudian dia pun membalas dan tangan saya mulai
menurunkan kain sarungnya dan manaikkan kaos sampai buah dadanya kelihatan penuh. Saat itu Hartini
tidak memakai BH lagi seperti godaan saya siang harinya. Agak lama kami berciuman sambil tangan
kananku meremas-remas kedua buah dadanya. Saya merasa sudah sangat horny begitu juga penglihatan saya
kepada .Hartini.
“Tin, mau nggak kita masukin, ntar gua buang diluar deh.” Bisikku
“Lex, jangan dibuang diluar” jawabnya pelan sambil memelukku lebih keras sambil mencium pipi kiriku .
“Ntar kalau hamil gimana dong, bisa bahaya kita” sahutku.
Tanganku masih terus memutar-mutar putting kirinya. Tangan kiriku memangku lehernya sambil menahan
berat tubuhku, karena saat itu saya masih jongkok.
“Biar aja. Aku kan punya suami. Kalau aku hamil kan wajar”
“ Tapi kalau nantinya anaknya lahir mirip gua gimana dong, suamimu bisa curiga loh”
Dia menatap saya memelas, seperti meminta pertolongan, saya merasa kasihan melihat wajahnya.
“Tolongin aku ya Lex, pokoknya dikeluarin didalam aja. Saya tanggung kamu tidak akan apa-apa. Aku
pengen hamil Lex. Aku ingin buktikan kepada keluarga suamiku bahwa aku tidak mandul.”
Sepertinya dia memohon. Saya ingat bahwa Hartini pernah cerita bahwa beberapa keluarga suaminya diamdiam
sudah menganjurkan agar suaminya mencari istri lagi kalau ingin punya anak.
“Kamu sudah yakin” Saya ingin menegaskan lagi bahwa dia memang meninginkannya.
“Iya Lex, tolongin aku ya” bisiknya langsung mencium bibirku. Saya pun membalas ciumannya setelah
yakin dia memang sangat menginginkannya. Sambil tetap berciuman tanganku mulai menarik turun kain
sarungnya sampai lepas melewati kaki. Saya melepaskan bibirku turun ke puting buah dadanya sambil
tangan kananku meraba pangkal paha. Sepertinya CD Hartini sudah agak basah. Hartini mendesah pelan
sambil tangannya masih memeluk kepalaku, sekali-kali berusaha menekan kearah teteknya yang sedang
saya putar-putar pakai lidah, sambil tanganku menarik CD nya turun lepas dari kakinya dibantu dengan
gerak pantat Hartini yang terangkat. Mataku sekali-sekali melirik ke arah vagina yang ditumbuhi rambut
yang lebat dan tanganku meraba-raba menyisihkan rambut yang lebat agar tanganku bisa masuk ke lobang
vaginanya. Refleks tangan kiri Hartini menangkap tangan kananku dan menariknya ke atas tanpa
melepaskannya lagi. Saat itu mulutku mulai turun ke arah perut, tetapi sesampai pusar Hartini menolak dan
menahan kepalaku agar jangan sampai ke memeknya. Saya berusaha pelan-pelan menarik kepalaku sampai
mulutku hampir mencium vaginanya. Tiba-tiba Hartini bangun duduk. Saya kaget dan takut dia marah.
Sambil menatapku dia melingkarkan tangannya ke leherku, berbisik.
“Jangan cium, bau. Aku nggak mau dicium itu.”
“Nggak bau kok Tin, malah harum. Sebentar aja ya” jawabku merayu sambil cium lehernya. Hartini
menggelinjing dan sambil mendesah pelan
“Pokoknya jangan ya Lex, kamu masukin aja punya kamu”
Tangannya meraba ke arah penisku, yang sudah menegang tapi tidak maksimum karena kurang konsentrasi,
setiap saat harus mengawasi suara di sekeliling rumah. Saat itu saya malah masih memakai celana kerja
telanjang dada. Hartini berusaha membuka gesper, tapi agak kesulitan. Saya bangun dan membuka sendiri
sampai benar-benar telanjang. Lalu saya tunjukkan penisku kepada Hartini, dia membuang muka. Saya
memegang kepalanya bermaksud agar dia mau mengoral penisku, tapi dia bertahan tidak mau. Akhirnya
kami kembali berbaring di tempat tidur menetralkan suasana sambil kembali memulai cumbuan. Akhirnya
saya dan Hartini sepertinya sudah kembali sama-sama horny, dan saya putuskan mengangkat kaki kananku
merenggangkan kedua kakinya. Sedikit demi sedikit kakinya mulai ngangkang sampai kedua kakiku bisa
masuk, siap untuk memasuki lubang surga. Tapi Hartini memelukku dengan erat sampai mulutnya
menyumpal mulutku dan membisiki,
“Kita di lantai aja ya. Jangan disini. Soalnya tempat tidurnya berisik nanti”
Tanpa menjawab saya langsung bangun turun dari tempat tidur dan Hartini ikut bangun sambil bawa sebuah
bantal dan berbaring merenggangkan kakinya di lantai. Saya yang sudah nggak sabaran langsung
mengambil posisi. Tak lupa kaos pinknya saya buka sampai lepas melewati kepala. Tangan kanan saya
memegang penisku mengarahkan ke vagina yang sudah banyak mengeluarkan cairan. Sesaat sesudah
menyentuh bibir vaginanya, kami berdua saling memandang, seakan-akan meminta persetujuan, dan
mulutku mencium mulut Hartini dan langsung dibalas sambil memeluk erat.
“Tin, gua masukin ya. Nggak nyesal kan?” Bisikku kembali memastikan.
Hartini tidak menjawab, hanya menganggukkan kepala pelan, tapi terasa bahwa dia sudah merespon, pelanpelan
saya masukin penisku yang berukuran diameter 4 cm dan panjang 12 cm. Saya menahan nafas
begitupun Hartini menikmati saat indah tersebut. Walaupun vagina Hartini sudah mengeluarkan banyak
cairan, sepertinya masih bisa gua rasakan betapa saat memasuki memeknya terasa nikmat sampai sesudah
masuk semua, saya diamkan sambil memandang muka Hartini yang memejamkan matanya. Sesaat
kemudian dia membuka matanya dan langsung buang muka merapatkan pelukannya sambil mencium
leherku. Dengan bertumpukan kedua siku di lantai saya mulai menaikturunkan pantatku, sampai kedengaran
bunyi suara dari lobang vagina Hartini seperti suara tepukan tangan di air.
“plok…plok….plok……”
Beberapa lama saya menggenjot penisku, tiba-tiba kedua kaki Hartini menjepit keras kedua kakiku sampai
saya kesusahan mengangkat pantatku, sampai saat pantatku kuangkat terasa berat karena pantat Hartini juga
ikut terangkat dan kurasakan leherku digigit. Saya berpikir mungkin dia sudah orgasme, tapi kurasakan juga
ada yang mendesak dari penisku.
“ Kamu udah keluar duluan ya” tanyaku karena jepitan kakinya terasa semakin lama semakin lemah sampai
kini telapak kakinya sudah menapaki lantai kayu lagi seperti semula. Dia tidak menjawab hanya mencaricari
mulutku dengan mulutnya dan melumat lidahku.
“Gua udah mau keluar nih, keluarin diluar aja ya?” bisikku sesaat setelah bisa melepaskan lidahku dari
mulutnya, memastikan karena saya masih takut resikonya di kemudian hari.
“Tolongin aku Lex..aku ingin sekali hamil.” Suaranya seperti mau nangis meminta. Tapi tangan kanannya
sudah ditaruh diatas pantatku sepertinya menjaga agar nantinya saya tidak melepaskan penisku dari
vaginanya.
“Ya udah, tapi kamu harus jaga rahasia ini baik-baik ya?” jawabku
“Iya…iya…nggak usah khawatir, tapi janji jangan dibuang di luar ya” bisiknya.
Saya nggak jawab lagi tapi mulai menggenjot memeknya lagi yang sepertinya semakin kurang menjepit
karena sudah orgasme seraya mulutku mengulum lidahnya. Beberapa saat kemudian aku membisiki
telinganya,
“Gua udah mau keluar” sambil genjotanku semakin cepat dan tangan kanannya menekan pantatku semakin
keras ditambah kedua kakinya menekan belakang pahaku dari atas sambil tangan kirinya memeluk leherku
dengan ketat, sampai akhirnya
“ouchhhhhh……” mulutku mengulum mulut Hartini seakan mau menghabiskan saat itu. Dan terasa ada
yang keluar dari kontolku membasahi memek Hartini.
“Crooot….crooot…croooooot…”
Sampai rasanya tidak ada lagi yang dikeluarkan baru saya menghentikan genjotanku dan diam bertumpukan
kedua siku tangan dan penisku sengaja saya tumpukan ke vagina Hartini. Saya terdiam tidak bergerak,
sambil memandangi mukanya yang terpejam. Kukecup bibirnya dan berbisik.
“Tin, aku balik ya, kelamaan ntar orang lain bisa curiga”
“Makasih ya Lex, makan malamnya sudah aku taruh dirumahmu tadi sebelum kamu dating.” Jawabnya
pelan.
Tetapi ketika saya mau melepaskan penisku dari vaginanya, dia meraih leherku dan sesaat mencium bibirku
dengan mesra. Ketika sudah dilepaskan aku langsung bangkit berdiri dan mencari celanaku yang saya lupa
taruh dimana. Hartini masih tiduran dan merapatkan kakinya memandang saya dan mengarahkan
telunjuknya ke tempat tidur, tapi yang saya lihat malah CD nya, dan mengambil dengan tangan kiri untuk
diserahkan kepada Hartini , tapi dia malah menarik tangan kananku dan tangan kanannya menyambut CD
seraya menyuruhku pelan agar jongkok Saya mengikuti saja tanpa tahu kemauannya. Hartini melap
kontolku yang masih basah dengan cairanku yang bercampur dengan cairannya sendiri dengan CD putihnya,
saya tersenyum dan meremas buah dadanya dengan tangan kiri. Kemudian telunjuknya menunjukkan
dimana tadi celana saya lepaskan. Sesaat sesudah saya memakai celana, saya jongkok untuk mencium dia
dan pamit sekalian berterima kasih atas bonus cuci pakaian dapat cuci penis, dia tersenyum sambil mencubit
pelan pipi kiriku.
Begitulah sampai sekitar 6 bulan kemudian kami sering melakukan hubungan suami istri setiap ada
kesempatan, walaupun tidak setiap berhubungan Hartini mendapat orgasme karena kadang saya merayu
dengan alasan biar lebih cepat hamil walaupun dia sedang tidak menginginkannya atau takut ketahuan orang
lain yang penting birahiku terpuasakan. Enam bulan kemudian saya menikah dan istriku menjadi seorang
ibu rumah tangga yang tinggal bertetangga dengan Hartini, dan anehnya empat bulan sesudah menikah istri
saya hamil. Saya merasa kasihan kepada Hartini, walaupun kami berhubungan sekitar enam bulan seperti
suami istri belum hamil-hamil juga bahkan sampai saya mutasi ke Jakarta kembali. Dia hanya sedih menatap
kepergian kami sewaktu mau meninggalkan perumahan tanpa kata-kata perpisahan.