Duniabola99.com – Saat ini usiaku sudah 16 tahun, sebentar lagi aku sudah kelas 1 SMA. Aku sama seperti kalian yaitu penggemar wanita setengah baya. Kali ini aku akan menceritakan kisahku dengan budhe Titiek.
Sudah jadi jejaka muda kamu ya kata budhe Titiek yang selalu mengagumi kegantenganku. Memang wajahku merupakan kombinasi manis antara gen ibuku yang berasal dari keraton Jogja, dan bapakku yang keturunan kraton Solo.
Usia budhe Titiek 57 tahun. Budhe Titiek adalah pensiunan PNS. Suaminya meninggal karena sakit. Sedangkan kedua anaknya sudah berkeluarga dan pindah keluar negeri tetapi tanpa kabar hingga kini. Tubuh budhe Titiek seperti kebanyakan ibu-ibu lainnya. Tubuh montok, pantat besar, perut sudah berlemak, dan teteknya memang sudah turun tapi besar menggoda. Sebagai lelaki penggemar wanita setengah baya pasti akan menyukainya.
“Le…kamu harus ngerti, bahwa bapakmu yo adikku itu perlu pendamping untuk bisa mengasuh kamu dengan baik, karena apa? kamu sebentar lagi sudah tumbuh jembut he he he…” kata budhe Titiek sambil menoel janggutku.
“Ketika laki-laki kemencur kaya kamu itu le, yang sudah keluar jembutnya, sangat butuh kasih sayang, tidak cukup oleh bapakmu tok, tapi juga butuh kasih sayang seorang ibu, meskipun itu ibu sambung”. Aku yang waktu itu sedang bermanja-manja dengan budhe Titiek sambil tidur-tiduran dipangkuannya cuma membisu. Jujur saja aku tidak begitu mendengar kata-kata budhe Titiek, aku betul-betul sedang terbuai dengan tubuh budhe yang membuatku terangsang.
Budhe Titiek yang waktu itu memakai daster longgar yang tidak memakai lengan membuatku sangat terpesona. Kulitnya yang kuning sangat kontras dengan bulu ketiaknya yang tumbuh lebat yang tersembul diam-diam, jujur saja aku baru melihat secara jelas sosok budhe Titiek. Sejak kecil, budhe Titieklah yang menjadi tumpuanku untuk bermanja-manja. Baru kali ini aku terpesona dan bergairah. Mungkin ini yang dinamakan puber ya, bukankah budheku sendiri mengatakan aku sudah jadi jejaka yang sedang tumbuh bulu jembutku. Aku betul-betul terbuai melihat bulu ketek budhe Titiek yang lebat, dan aroma tubuhnya di siang yang terik itu betul-betul membuat seluruh pori-pori tubuhnya mengeluarkan bau yang khas, bau seorang wanita dewasa. Dengan malu-malu aku mencium bau itu, dan budhe Titiek tersenyum memandangiku.
“ono opo le… kowe kok cungar-cungir, opo budhe mambu kecut yo” katanya sambil mencubit hidungku.
” budhe seksi banget…” kataku spontan.
“wah… ponakanku iku wes gedhe tenan, lha iku sing ngisor wes obah-obah ” katanya sambil nguyel-uyel burungku yang pelan-pelan mengembang. Aku jadi malu dan berusaha bangkit, namun pada saat yang bersamaan budhe menunduk akibatnya wajahku langsung bertemu dengan daging empuk yang sangat lumer, ternyata budheku tidak pakai kemben. Ahhhh, dengan segenap rasa aku merasakan itu. Pelan-pelan otot burungku semakin mengeras, dan cilakanya budheku malah dengan erat membenamkan dadanya yang besar lumer itu ke mukaku…
“ohhh le… budhe pengin nyusuni kowe maneh ki…” katanya sambil terkikik.
Aku jadi malu, tapi jujur saja aku begitu menikmati lumer dadanya budhe Titiek. Apalagi ketika dengan sengaja budhe Titiek memasukkan seluruh mukaku ke belahan dasternya, aku betul-betul merasakan hangatnya bukit kembar itu. Dengan gemes budhe mengusap-usapkan seluruh bukit dadanya kemukaku, “le budhe pengin nyusune kowe…” katanya merintih.
Dengan naluriah mulutku kudekatkan pada dada itu, dengan terpejam aku mencari puting hitam yang besar itu.
“Oh le, hisap terus pentile budhe” ceraunya ketika mulutku dengan alamiah menghisap dan menjilati puting dadanya yang sebesar jempol tangan itu. Budhe semakin menekan wajahku, desisnya semakin membuatku bersemangat untuk menghisap habis putingnya.
“le enaaaaak, terussssss” katanya sambil terus mendekapiku. keringatnya yang mulai membanjir semakin menguarkan bau tubuh wanita dewasa, aku betul-betul terbius dan lupa diri.
Budhe semakin mendesah, ketika mulutku kembali mengenyot dengan ganas penthil item besar itu.
“ahhh le, enak….bangetttt” rintihnya. Aku lupa diri, bahwa yang sedang kukenyot habis adalah penthilnya budheku. Aku ingin menumpahkan rinduku pada sosok ibu. Dengan wajah memerah budhe menarik wajahku, dan dengan ganas budhe menciumi wajahku. hidungnya mengeser-geser pipiku, terasa meremang semua bulu-bulu halus diwajahku. Bibirnya yang penuh, mencium dengan ganas bibirku. Aku yang baru pertama kali merasakan hangatnya bibir wanita dewasa terasa terbang diawang-awang, halus lumer dan hangat mencipok-cipok.
“le keluarkan lidahmu” desis budhe memintaku untuk mengeluarkan lidahku, dengan naluriah kupanjangkan lidahku, dan kembali aku merasakan sensasi yang sangat luar biasa. Lidahku dihisap dan diusap oleh lidah budhe. Seluruh tubuhku luruh yang terasa nikmat luar biasa. Pelan tapi pasti aku mengikuti irama yang dikembangkan budhe. Sedot…hisap dan jilat akhirnya aku kuasai dengan baik.”….hmmmm pinter kowe le….ahhhhhh enak le” desisnya lagi. Budhe kemudian menengadahkan lehernya, dengan naluri yang sama aku menelusuri lehernya yang jenjang dengan kecupan-kecupan lembut, kadang dengan erangan budhe memintaku untuk menggigit dan menghisap lehernya yang putih kekuningan itu, kuciumi bau khas yang memabukkan itu lagi. Budheku pun tak kalah ganas, gantian wajahku dan leherku yang diciumi dengan hisapan-hisapan kecil yang melenakanku. ohhhh nikmatnya. Telingaku pun tidak luput dari jilatan-jilatan lidahnya, geli banget. Akupun melenguh kuat. Disaat aku tergiur nikmat dari sentuhan-sentuhan panas bibir budhe, kembali aku mendapat kejutan yang membuat lututku goyah. Budhe Titiek tiba-tiba jongkok, dengan ganas budhe menurunkan celana komborku, dan burungku yang baru berambut jagung teracung melengkung keatas.
“oh le, kontolmu sudah tegang banget yo, naik turun terus tu”, kata budhe kepadaku sambil menggoser-goser pipinya yang hangat ke cendawanku, tangannya dengan lembut membelai seluruh otot-otot batang mudaku. Nikmat banget. Belum hilang rasa nikmat itu, berganti dengan jepitan hangat yang menyelusuri otot-otot kakuku itu. Ternyata budhe dengan beringas memasukkan seluruh batang burungku ke mulutnya yang penuh. Lalu dengan pelan-pelan menghisap dan mempermainkan lidahnya disekujur kepala burungku.
“ohhhhhhh budheeeee, enakkkkk bangettttt……” aku hanya bisa merintih sambil meremasi seluruh rambut budhe yang panjang mengurai itu.
“enak yo le…..” jawabnya sambil mempermainkan burungku naik turun. Slrup…. Slrup, hanya suara itu yang terdengar ketika budhe menghisap dan mengulum otot kejantananku itu.
“aduuuuhhhhh budhe….enakkkkk budhekkkk” mataku terbeliak dan menyempit, mengiringi rasa nikmat, lenu dan gelinak…geli enak yang melanda seluruh sari-sari nadiku. Aku merasa naik ke atap kenikmatan yang kian tinggi. Aku hanya bisa merintih, merintih dan mencecap-cecap setiap kenikmatan yang muncul dari goseran lidah dan kuluman nikmat dari bibir penuh budheku. Budheku menatap dengan senyum nakallll,….”enak yo le….nek dikenokno” katanya menggoda, kemudian mulutnya melepas dan mencucup-cucup segenap batang kejantananku, dan akhinya turun di bola pelerku. Kembali aku hanya bisa ngruguhhhh menikmati sapuan lidah budhe disemua otot kejantanankuyang baru hilang kulupnya 6 bulan lalu. Belum hilang rasa enak itu, kembali budhe membuatku terlololong nikmat, ketika lidahnya yang runcing menyapu segenap daerah tahitiku, aku menjijit, melengkungkan tubuhku sambil mendesissssss nikmat ” aduuuuhhhhh belekkkkkkkkk, geli bangettt ngettt ngettttttt” sambil mengesol-gesolkan segenap organ tubuhku menikmati sledutan nikmat…mat dari gocekan lidah budheku. Melihat gelinjang kegelianku, budhe tambah semangat lidahnya yang tajam mempersona itu memainkan lubang kencingku. Aku hanya bisa meremas rambutnya dengan ketat melihat aksi lidah budhe itu. Terasa aliran kencingku berdesir naik, membuat kepala burungku semakin memerah dan berkedut-kedut nikmat. Seperti gunung merapi yang mau memuntahkan lahar panas. Budheku paham, dengan sigap tangannya memencet ulir dibelakang topi bajaku. Memitesnya dengan cepat, terasa ada yang berjingkat dan pelan-pelan jaliran nikmat yang kian naik ke atas pelan-pelan turun luruh. “ahhhhhh budhekkkkkkkkkkk…..oh, enaknya. seruku melihat aksinya itu.
Kemudian budhe membimbingku duduk di kursi panjang. Dengan gaya gemulainya budhe mengundangku dengan jentikan jari telunjukknya yang runcing memanjang itu. ketiaknya yang sedikit terbuka memamerkan bulu-bulu hitam yang lebat mengurai. Pelan aku mendekatinya, dengan berani aku mengangkat lengan itu, kubenamku seluruh mukaku di bulu-bulu hitam yang melebat basah. aku luruh dalam bau yang memabokkan hasrat berahiku. kuciumi dengan hangat. budhe terkikik-kikik kegelian.
“….ahhhhh le geliiiiii, opo ora jijik to kowe ngambungi kelekku iku” katanya sambil mengelus-elus rambut keritingku. Aku hanya mendesah, dan semakin mengendus-endus bau yang membuatku terangsang itu. Setelah puas dengan bau itu, secara naluriah aku kembali menekuni bukit dada yang kenyal dengan puting hitam sebesar ibu jari itu. budhe menghindar, dan dengan kelitan yang merangsang budhe kemudian berdiri, dan membuka dasternya yang sudah madul-madul itu. Aku hanya ngowohhhhh menyaksikan tubuh mulusnya yang berdiri utuh dengan segenap ketelanjangannya. Lengannya membuka penuh memamerkan bulu-bulu menghitam disekujur ketiaknya, sementara dua bukit kembarnya bergoyang-goyang dengan hiasan puting merona hitam. Perutnya yang menggemuk, turun dihiasi segitiga hitam lebat mengakang. Budhe ternyata tidak memakai kancut. rambut jembutnya lebat sekali, sangat kontras dengan kulitnya yang putih temu giring. Sekali lagi aku hanya melongo, dan membuatku sulit menelan air ludah, berjegut-jegut nanar menatap utuhnya tubuh perempuan dewasa yang matang itu.
Pelan budhe membuka lebar kedua kakinya, dan dengan gemulai memamerkan saluran lahar merah mudanya yang dikelilingi hutan belukar yang lebat itu. Dengan gemulai pula budhe menyibakkan gawuknya, dan memainkan itilnya yang menonjol keluar. Dengan bahasa isyarat budhe memintaku mendekat, bagai seorang guru budhe membimbingku..
“le iki sing jenenge gawuk…” sambil memamerkan gawukknya yang merah muda itu..
“lha sing iki jenenge itil le”..desisnya sambil menjentil-jentil itilnya sehingga makin menonjol keluar. Kemudian budhe memintaku untuk menciumi gawuk utuh itu. bagai kerbau dicocok hidung, akupun melai mendekatkan hidungku. Terasa segar baunya, kemudian dengan lidahku aku menuruti budheku guruku itu dalam mempermainkan burungku tadi. Pelan kumainkan lidahku disekujur garis membasah itu, terdengar budhe mengerang berkeredut menambah basah garis membujur itu. Aku makin semangat menjilati aliran lahar asin itu, apalagi ketika kulihat dibalik rimbunnya jembut hitam itu, budhe juga ngowoh mulutnya mendesis, sementara matanya terbeliak putih. Ternyata budhe menikmati ketika lidahku yang kasap itu melumat habis daging kecil menonjol itu. kusapu habis-habisan semua barang basah itu, budhe tergerinjal-gerinjal mulutnya menyemburkan kata-kata saru, “waduhhhhhhh le enak tenan ohhhhhhhh terus le” sambil tangannya menekan-nekan kepalaku membimbing untuk menemukan titik-titik nikmat diseluruh penjuru gawuknya itu. Dengan pekikkan yang sangat keras budhe menekankan seluruh mukaku, ketika dengan berani kuhisap habis itil itu.
“……aduhhhhhhhh le aku metu….mettuuuuu metttuuuuuu tuuuuuuuuuuu” serunya, terasa berkejut-kejut dan membanjiri mulutku segenap cairan kenikmatan dari lubang enak itu. setelah itu pelan-pelan gawukknya yang tadi munjuk memenuhi mulutku menggelosoh, kakinya yang menjepit leherkupun demikian. Terlihat budhe terpejam. keningnya penuh dengan embun keringat, nafasnya yang memburu pelan-pelan berangsur normal lagi. “pinter tenan le kowe” desisnya sambil memandangiku sayu. Aku kemudian bangkit, dan memeluknya erat. Budhe pun kembali menciumi wajahku. Pelan-pelan tangannya menggapai burungku yang masih tegak berdiri kokoh. Kemudian membimbingnya, dan memasukkankannya ke lubang nikmat itu. Aku sempat ragu dan bingung harus bagaimana. Namun dengan naluriah aku pelan-pelan memasukkan kepala jamur itu ke sela-sela gawuk budhe. Terasa geli luar biasa ketika burungku memasuki guwa garbanya. Hangat mencengkeram. Apalagi setelah budhe menekan pantatku ke bawah. Terasa hangantnya teraso,”….hmmmmmm terus le, tekaaaann ke bawah kontolmu. desisnya.” aduhhhhhhh kontolmu enak banget le, mentok” desisinya lagi ketika burungku masuk lebih dalam lagi. kakinya yang panjang itu kemudian melingkari pinggulku. Dengan naluriah pula aku menaikkan dan menurunkan tusukan kelubang injit-injit semut itu. “ohhhhh budhe, kok enak bangeeettttt” kataku sambil menghujamkan burungku yang disambut dengan hisapan dalam oleh budhe di gawuknya. Aku bagai tengelam dalam lubang yang bisa bernafas, kadang menghisap kadang memeras bahkan kadang menjepit. Sementara mulut budhe tiada henti menciumi wajahku, melumuri pipiku dengan jilatan lidah yang menghisap, mencucup dan melumuri mukaku dengan air ludahnya. Aku hanya bisa mengerang-mengerang menikmati rasa nikmat yang merambat dari ujung kaki sampai ujung rambut. Kenikmatan itu semakin terjal ketika budhe dengan sengaja memutar-mutarkan pinggulnya mengimbangi tusukan-tusukan ngawur dari kontolku. ” ohhhhh terus le, enakkkkk sing rosa le” desisnya, aku menurutinya, kutahan jelajah nikmat yang mulai mendekati ujung kepala burung itu. Aku ingin menikmati rasa nikmat yang mengigiti ujung burung itu. Dengan hentakan yang kuat aku menghujamkan seluruh batangku itu, budhe terlihat membelalak dan kembali melolong nikmat “aduhhhhhhhhhhh le aku metuuuuu tuuuuu tuuuuuuuuuuu”teriaknya terasa mendesir-desir basah melingkupi kepala kontolku. Aku dipeluk sangat kuat, dan kakinya yang jenjang mengunci pinggulku. Sementara pinggul budhe dengan ritmis bergerak gerak dalam geseran nikmat yang menjumbul-jumbul. Ohhhhhhh terasa ada yang ingin meletup di dasar lubang itu. Keringat budhe tumpah setumpah bersama dengan keringatku yang membasahi seluruh tubuhnya pula. Keringat perempuan dewasa yang memapaki puncak kenimatannya, menguarkan bau yang membuat nafsuku kian membumbung. Pelan gerakan ritmis itu mereda, dan dengan ciuman sayang, budhe memintaku untuk mencabut burung kokoh yang masih belum terluka itu. “wesss le dicabut disik yo” serunya sambil menciumi segenap mukaku kembali. Dengan ogah-ogahan aku mencabut burung itu, ada yang ngganjel karena aku juga sudah mulai merasakan rasa nikmat yang menjujul-jujul ujung kepala burungku. namun karena budhe memintaku untuk mencabut, maka dengan terpaksa aku mencabut burung itu. Kemudian budhe mengelap sekujur gawuknya yang porak-poranda itu dengan kain dasternya. Setelah dirasa beceknya ilang, budhe kemudian memintaku berbaring. Dengan rakus kembali budhe mengoplos seluruh batang kemaluanku dengan hisapan dan jilatan kembali. Aku kembali merasakan sapuan-sapuan nikmat yang menggambir-gambir burungku itu ” aduhhhhhhh budhe, enak-enakkkkkkkkkkkkk” seruku menikmati aksi binal mulut budheku dalam mempermainkan segenap pori-pori otot kejantananku itu. Setelah dirasa cukup pelan-pelan budhe mengangkangiku. Dengan tangannya yang utuh budhe kemudiam memasukkan kembali burungku itu menerobos hutan lebatnya yang kembali membasah. Pelan terasa pijatan yang lembut dari gua garbanya. “ohhhhhh aduhhhhhh le menthok” seru budhe ketika ujung kepalaku menyentuh lubangnya yang paling dalam itu. Kemudian setelah berkeredut sebentar, budhe kemudian menaikkan dan menurunkan pantatnya yang bohai itu memijat dan mengurut otot kejantanku. Aku kembali disuguhi pemandangan yang mengasyikkan, kedua susu itu bergerak ritmis mengikuti ayunan pantat bohai itu. Pentilnya yang hitam kembali merayuku untuk menyentuhnya. Melihat mulutku yang mendesis nikmat, tapi mataku yang melotot memandangi ombak didadanya itu, budhe tambah kemayu dan mendekatkan pentil besar itu persis di mukaku, sentuhan pentil itu membuat saraf mulutku semakin nikmat, aku kemudian mengangakan mulutku. namun sebelum pentil itu terhisap mulutku budhe memindahkan pentil itu ke ujung hidungku. Mulutku justru tersapu oleh bulu lebat dari ketek budheku, aku jadi merem melek. Budhe tersedak, dan tergigik melihat aku yang kembali mendusel-dusel ketiak lebatnya dengan gemas aku kemudiam mencium dan menyedot seluruh aroma ketiak itu.
“aduhhhhhh le keriiiiiiiii banget” serunya gemas sambil memutar-mutarkan pinggulnya memijat seluruh batang kenikmatanku itu. Terasa mentok dan menimbulkan senasai padat di ujung-ujung syaraf kegelianku. Aku mendengok dan merangkul dengan ketat tubuh budheku. Menghujamkan seluruh otot kejantananku dengan sekuat-kuatnya, sementara budhe yang melihat usahaku justru berusaha mengimbangi dengan sedutan-sedutan serta tarikan dari arah yang berlawanan.
“enak yo le…kelekke budhe…huhuuuuuuhhuuuuu” gerengnya sambil memutar-mutar pingulnya. Sementara putingnya yang keras dan kenyal itu menyapu-nyapu seluruh dada basahku. Budhe menggelinjang nikmat ketika tanganku membalas iseng menerobos lubang tahitinya. “aduhhhhhhhhh le tok apakno, tilisanku ituuuuuuuu” geramnya
” enak-e pollllll…aduhhhhhhhhhh…aduhhhhhhhhhhhhhhh, terus le terus” teriaknya. Aku yang melihat budhe begitu bergeloranya jadi lebih bersemangat, sementara ototku menghajar gua garbanya, tanganku menghajar tahitinya. Sementara mulutku dengan ganas beralih mengkenyot polll putingnya yang keras hingga ke langit-langit mulutku. Melihat olahku yang demikian, budhe hanya bisa mendesis dan semakin memperhebat gerakan pinggulnya, semakin cepat…cepat dan akhirnya irama ritmis itu aku nikmati lagi, budhe mengelinjang-gelinjang dan full power menghentakkan pinggulnya. “aduhhhhh le, budhe metu maneh”……pinter kowe le aduhhhhhhhh enak tenanannnnnnnnnnnnn” terasa desir banjir memenuhi lobang nikmat itu, melumuri segenap batang kejantanku membuatnya licin. Budhe terguguk menikmati sisa-sisa nikmat sambil memelukiku dengan hangat, sementara aku dengan lahap melumuri lehernya yang basah oleh keringat kenikmatan itu, terasa asin tapi bagai tonikum untukku. Setelah nikmat reda, budhe kembali menaikkan dan menurunkan pinggulnya kembali, aku kembali menikmati urut-urutan nikmat. gerakan pinggul budhe kembali menapaki batang kejatananku, pelan semakin cepat, semakin memutar dan menghentak. Sementara budhe kembali membetulkan rambutnya yang bosah baseh itu. Aku kembali terpana menikmati tubuh yang berkilap karena keringat, dan juga ketiak yang kusut lebat itu. Puting dan dada itu kembali menampilkan goyangan ombak membuncah kadang bergerak dengan gelinjang yang kuat. Kadang dengan irama yang lembut membuncah. Aku yang selama ini pasif saja merasakan belaian dan urutan lembut menarik-narik nikmat mulai ujung kepala sampai batang kelakianku, dan lebih menikmati pemandangan indah yang membuncah didepanku, serta mendengar erangan dan deruman birahi dari mulut budheku serta bunyi rinmis dari beradunya antara tulang pubisku dengan pantat bohai dari budheku mulai panas, dan dengan hentakan yang kuat aku langsung memeluk budheku, budhe tanggap dan ganti memelukku dengan ketat. Aku kembali mendapat sensasi dari pergantian posisi itu. kami bersetubuh dalam posisi duduk, keringat kami menyatu saling melengkapi. Terasa sangat kuat jepitan lubang nikmat itu, mengurut….memerah, melintir-lintir, berdegut-degut menebarkan seribu sensasi rasa yang tak pernah terbayangkan selama 16 tahun hidupku itu. kami saling bertukar peran, kadang menghujam kadang menarik kadang mengurut disertai irama erangan dari mulut budhe yang kian berat…”ohhhhhhgrhhhhh le huenanankkk tennnnnnh” yang kadang berganti “….pinter tenan leeeeee aduuuuuuuuuh, kok eunannnnnnnk banget kontolmu” disertai dengan pagutan-pagutan dan jepitan mulut budhe disekujur leherku. Mendapat nikmat itu, lama-lama magma kuat yang mulai merambat dari ujung tahitiku naik…naikkkk dan akhirnya dengan hentakan kuatttt aku hanya bisa melenguh keras
” aduhhhhhhhh budhe kulo metu, pengin nguyohhhhhhhhhhhhhh” dengan ketat budhe menggoyangkan pantatku, memutar dan menghisap dengan sedotan dan gerudutan di dalam gawuknya itu….
“iyooooo le terus aduhhhhh semprotan pejuhhhhhhhmu enakkkkkkkkk banget leeeeeeeeeeeeee” yang disusul dengan gerakan ritmis dari pinggul budhe lagi, dengan ritme yang sama dan dengan erangan yang disertai dengan gigitan kuat dileherku. Akupun mengeluarkan segenap magma keperjakaanku dileher rahim budhe dengan penuh rasa dan nikmat yang baru aku alami seumur-umurku. Aku kemudian jatuh terlentang di sofa biru itu, budhe tetap memelukku, dan mencium habis seluruh wajahku. Dengan nafas satu-satu budhe membisikiku
“ohhhhhh le kowe saiki wes joko tenan, dudu joko kemencurrrrrr, budhe seneng bangettttttttt” serunya sambil terpejam didadaku yang kerempeng yang penuh dengan noda-noda merah gigitan budheku dan juga basah dengan keringat nikmat kami.
Setelah reda, budhe kemudian bangun. Dengan gaya gemulai budhe menata rambutnya kembali, aku kembali terlongong bengong menikmati pemandangan indah perempuan dewasa, matang. Tubuh budhe basah keringat, ketiaknya membuncah gemuk dengan uraian bulu ketiak basah lebat, hitam. Sementara dadanya membusung dihiasi puting hitam besar yang bergoyang sesuai dengan irama tangan budhe. Perutnya yang lumer memblenduk melipat gundukan hitam kelam yang penuh dengan gelimang peak magma keperjakaanku. Aku kemudian bangun dan dengan sigap kembali mencumbu-cumbu, menguik-nguik bulu indah di ketek budhe dan meremas gemas puting hitam itu. “wesss le mengko bengi maneh yo, saiki budhe arep masak ben engko bengi iso dienggo kembul bujono kanggo bapakmu karo ibu sambungmu, mbak darmi” katanya sambil memencet hidungku dan mencium bibir ngowohku. Budhe kemudian bangun dan memakai dasternya kembali. Aku hanya bisa menatapnya dengan penuh nafsu kembali. Burungku yang terkulai nikmat kembali bangun. Namun budhe sudah lenyap masuk ke dalam dapur yang hanya tertutup korden.
Mbak darmi, ibuku sambung….
Malam yang kubenci itu akhirnya datang juga. Sejak kemarin rumahku sudah padat oleh sanak famili. malam itu bapakku jadi menikah dengan perempuan yang bernama darmi. Bapakku tidak salah pilih, karena mbak darmi merupakan perempuan idaman sesungguhnya. Wajahnya sangat jawa, kulitnya sawo matang, rambutnya hitam banyak dan bergelombang yang sangat menarik bulu keteknya juga sangat lebat, dan dadanya full membusung tinggi. Itu aku ketahui secara tidak sengaja, sore itu mbak darmi sedang didandani oleh budhe Titiek. Aku yang sudah diperjakai oleh budheku beberapa hari lalu menjadi ketagihan, penginnya nyosor terus dan bisa sembunyi diketiak budhe Titiek. Aku kangen banget dengan bau tubuhnya, bau keleknya dan juga sangat kangen dengan geredutnya lubang kenikmatannya. Jadi, ketika melihat bayangan tubuhnya masuk kamarku aku jadi belingsatan dan panas dingin meriang kontet. Apalagi aku tahu secara sekilas budhe Titiek tidak memakai kemben meskipun daster yang dipakai agak rapat. Samar-samar aku bisa melihat goyangannya yang lembut ketika melintas, spontan burungku berontak dan mulai agak mengeras. Berjingkat aku mencoba mengikutinya, dan dengan perlahan membuka pintu kamarku. Namun, aku jadi salah tingkah karena dikamarku, ternyata budhe tidak sendiri dia bersama ibu sambungku mbak darmi, yang membuat aku makin belingsatan mbak darmi dan budhe Titiek sedang duduk sepur-sepuran, mbak darmi di depan dengan kemben yang munjung dan budhe Titiek dibelakangnya sedang menata sanggulnya. Lututku langsung lemas, jantungku langsung nitir. karena waktu itu mbak darmi dengan anggun sedang mengangkat kedua tangannya ke atas, dan memegangi rambutnya yang sedang di tata oleh budhe. ngowoh aku melihatnya, karena ketiaknya benar-benar dihiasi rambut lebat hitam yang tak kalah lebatnya dengan milik budhe Titiek, lehernya jenjang dan bukit dadanya menjembul pengin memberontak keluar dari kembennya yang ketat. Melihat aku yang kaya kethek di tulup, budhe Titiek tertawa ngekek ” ono opo to le….kene mlebu kene”, serunya sementara mbak darmi hanya tersenyum tanpa merasa risi sama sekali melihat mataku yang melotot tot hampir keluar itu, malah sempat kulihat dia tersenyum nakal menatapku. ” iyo nang danang…, ayo mlebu kene wae” serunya manja sambil membetulkan letak sanggulnya itu. “rindhik asu digithik” bagai pepatah itu, aku dengan malu-malu duduk disamping mereka berdua. Aku tidak berani menatap wajah mbak darmi, namun dengan malu-malu aku mencuri-curi pandang ke arah ketiaknya yang dihiasi rambut kelek mengurai lebat. Budhe tersenyum melihat tingkahku, dan berkata “…le…le kowe iku nek ndelok kelek wulunen kok ora kedhep-kedhep to” katanya sambil menoel wajahku. Aku gelagapan malu, sementara mbak darmi malah terkekeh-kekeh “…iyo mbakyu, kawet mau kok tak delok tole danang iku ndak kedhep blas mandeng kelekku iki” katanya sambil mengangkat kembali lengannya dan pura-pura menciumi baunya..”opo ambune kecut nemen yo yu?”katanya pada budhe Titiek. Budhe Titiek hanya ketawa ” …le iki lho ambungen kelek-e mbokmu” katanya sambil menarik tanganku untuk duduk persis disamping mbak darmi, ibu sambungku itu. Aku makin salah tingkah, namun dengan berani mbak darmi menyodorkan keleknya yang lebat itu kearah mukaku. Tercium lagi bau keringat wanita dewasa yang agak berbeda dari aroma kelek budhe Titiek, agak lebih manis namun lebih merangsang. Tiba-tiba aku memberanikan diri untuk mencium kelek itu, sementara mbak darmi terkikik geli melihat mulutku yang menyosor dan mengkempit-kempit ketiaknya. Melihat tingkahku itu, budhe langsung menimpali “wes …wes le, ojok tok sosor terus ibukmu iku…ndak mari-mari mengko” katanya sambil memintaku untuk keluar kamar. Melihat mukaku yang kecewa berat, mbak darmi langsung memelukku dan mencium keningku dengan rasa sayang.”wes cah bagus…mengko nek wes mari temu manten kowe keno ngambungi kelekku maneh” katanya. Budhe langsung tertawa ngakak “wahhhhhh danang panji iki memang senangane kelek mbak” katanya sambil kembali menata sanggul mbak darmi, ibuku sambung. Melihat diriku yang masih cemberut, budhe Titiek langsung mendatangiku, memelukku dan mengusap lembut keningku. “he he cah bagus, ibumu ben dadan sik yo, ben tambah ayu..” katanya. Mendengar itu, aku hanya mengangguk. dengan arif budhe langsung membawa kepalaku ke arah lekukan ketiaknya, dan membiarkan mukaku terbenam sampai penuh diketiaknya, yang entah karena keringat yang cukup membanjir membuat aroma yang membikin aku melayang jauhh, membangkitkan rasa berahi yang tadi sempat padam. Budhe nampaknya paham, jadi sebelum birahi itu muncul, beranak pinak dan membangkitkan birahinya pula, mengangkat kepalaku dan memintaku untuk keluar kamar dan membiarkan ibuku dan budhe menyelesaikan pekerjaannya dulu. Akupun maklum, apalagi budhe sempat membisikiku untuk ngeloni tidurku nanti malam sambil mencubit pelan burungku yang masih jinak disarangnya itu. Pelan aku bangun dan keluar dari kamar.
Namun belum terlalu jauh aku melangkah, mbak darmi ibu sambungku memanggilku “…..le panji…, tolong ibu ambilkan kutang warna merah maron yang ada di kamar bapakmu”. kemudian terdengar gurutuannya pada budhe Titiek “waduh aku lali je mbak, kok kotange ora digowo sisan mau” bisiknya dengan suara manja. Suara yang membuatku panas dingin. Dengan gemetar aku mencoba masuk ke kamar bapakku, pelan kuketuk dan ternyata kosong. Mungkin bapakku sedang berhaha hehe dengan teman-temannya. Kemudian bergegas masuk dan mencari kotang merah maron milik mbak darmi itu. Kotang itu tergeletak begitu saja disisi tempat tidur, ada dorongan kuat untuk menciuminya. Terasa bau keringat khas yang tadi sempat kucium. Bau yang cukup membuatku berdetar, membuatku on mode. Belum puas rasanya menciumi bau itu, ketika kembali terdengar suara budhe Titiek, “le…dang cepet, iki lho ibumu selak kademen (kedinginan)”. Dengan bergegas aku segera kembali ke kamarku. “…suwun lho le” ujar ibuku ketika kuberikan kotang warna merah maron itu. Tanpa sungkan, ibuku dengan dibantu budhe Titiek langsung melepas kain jaritnya dan dengan cepat jarit itu meluncur ke bawah. Ternyata ibuku sambung tidak mengenakan apa-apa lagi didalamnya. Aku betul-betul terkejut melihat pemandangan itu, tubuh mulus yang sangat berbeda dengan budhe Titiek yang sudah memiliki anak dua. Susunya tidak terlalu besar tapi juga tidak kecil, bentuknya sangat indah. putingnya coklat tua, tidak sebesar putingnya budhe Titiek, namun betul-betul bulat membongkah. Yang membuatku semakin ngowoh dengan lutut gemetar ketika pandanganku terbentur diselakangan ibu sambungku, bagian itu ditutupi dengan bulu hitam lebat yang mengelombyok, keriting sangat kontras dengan kulitnya yang **********. Sungguh amat berbeda dengan punyanya budheku, yang kemarin habis kuenyel-unyel itu. Ingin rasanya aku membenamkan batang burungku yang sudah sangat keras itu ke belahan daging hangat yang terbungkus rambut hitam itu. Melihat mukaku yang full mupeng itu, ibu langsung menepuk pipiku lembut “..cah bagus…kowe kok jadi berobah koyo patung! opo aku ini aneh bagimu to le” serunya. melihatku yang hanya bisa menelan ludah dengan mata melotot, budhe langsung menyahut “…dudu aneh mbak, tapi anumu iki” sambil mengelus rambut hitam kemaluan ibuku. “jembutmu iku, ngruntel akeh lan kandhel poll, mungkin pikere tole panji duh…jembute we kuethele ndahno rasane, mesti uenak tenan…hmm mbener ndak le? katanya kepadaku. Mbak darmi ketawa ngikik “…bener cah bagus, kowe seneng banget karo jembutku iki to?!” tanya ibuku sambil mentoel pipiku lembut. “..jelas seneng to mbak, seneng banget mestine tole panji” kata budheku menimpali sambil tidak lupa membelai-belai rambut jembut ibuku sambung itu. wahhh edan tenan, pikirku. Budheku malah dengan berani menyentuh susu mbak darmi sambil berkata “..piye le susune ibumu, isok mengkel to, ojok tok bandingno karo susune budhemu iku, sing wes kambon bocah loro” katanya sambil mempermainkan puting ibu sambung. Mbak darmi kembali tertawa terkikih-kikih ” iso wae sampeyan iku yu…yu, wes geli kabeh aku ki” katanya sambil cepat-cepat memasang kemben dan memintaku untuk keluar kamar. Budhe juga segera membantu memasangkan kaitan tali kotang. Aku hanya bisa menelan ludah menikmati indahnya punggung ibuku sambung yang sekarang tertutup tubuh budhe Titiek, yang meskipun sudah agak kendor tapi masih sekel itu. Pelan aku meninggalkan kamar itu, dan kembali bergabung dengan saudara-saudaraku yang lain di kamar tamu.
Resepsi perkawinan bapakku dengan mbak darmi memang diselenggarakan sangat sederhana, hanya famili dan tetangga dekat yang diundang. Selepas pukul 09.00 malam suasana sudah kembali normal. Bapak dan ibuku sambung sudah masuk ke kamarnya, aku hanya mendengar jeritan-jeritan kecil dan juga erangan-erangan bapakku yang entah sedang melakukan apa. saudara-saudaraku yang lain juga sudah kembali kerumahnya masing-masing yang memang letaknya masih satu deret dengan rumahku itu. Tinggallah aku dengan budhe Titiek di kamar tamu itu. Melihat sudah tidak ada tamu yang datang. Budhe Titiek mengunci pintu, kemudian mengikuti langkahku yang menuju kamar. Baru saja aku duduk ditepi ranjang, budhe sudah memelukku. Le panji ” budhe kangen banget karo kowe” ujarnya sambil mulutnya menghujaniku dengan ciuman bertubi-tubi.
“heemhhh panji juga kangen dengan bau keleknya budhe” ujarku sambil membalas ciumannya, dalam satu minggu ini aku sudah mampu menjadi murid bercinta yang baik. Ilmu ciumanku sudah naik satu tingkat. Mupengku jadi mode on, melihat budhe yang terus menerus menggigiti dan menghisap lidahku.
Budhe pun nampaknya terpengaruh dengan erangan-erangan yang ada dikamar bapakku, mupeng on juga. Tubuhku didorongnya ke tempat tidur, dengan tergesa budhe mencopoti bajuku. Sebentar saja tubuhku sudah telanjang kuyup. Budhe juga dengan tergesa melepaskan dasternya sendiri, kembali aku melihat tubuh mulus budhe yang meskipun sudah berusia lima puluhan lebih tapi masih tetap mendebur-debur jantungku. Tubuh yang kemarin bagai laboratorium cinta bergelimang peakku. Melihat pandanganku yang terpesona itu, budhe dengan manja mendekatkan keleknya ke hidungku.
“…hmmm le, budhe kangen diambungi kelek-e” katanya, akupun menyambut dengan antusias, kujulurkan lidahku untuk menjelajahi hampir seluruh permukaan kelek budhe yang penuh bulu ketek itu,
“….uhhh, hmmm!”,
“ohhhh geli le, tapi uenakkkk tenan” sambil telapak tangannya mengelus dan menekankan kepalaku untuk bisa menemukan titik-titik geli dipermukaan keleknya itu.
Dengan puas aku menikmati lazuardi nikmat, dari aroma yang terus menguar seiring mengembangnya pori-pori birahi disekujur ketiak budhe yang berbulu sangat lebat itu. “awwwwwww…” budhe merintih kecil ketika mulutku menjepit bulunya dan menariknya pelan,”koweee nakal le,” seru budhe sambil memelukku keras, dan kemudian mengalihkan mulutku untuk menyusuri pentil hitamnya itu. Budhe kemudian membiarkan tanganku meraba-raba sepasang payudaranya yang ranum lengkap dengan putingnya yang hitam sebesar ibu jari itu. Entah kenapa aku begitu menyukai puting susu yang hitam itu, kupermainkan dengan sepenuh hati, sehingga puting itu mulai mekar dan bergetar-getar seirama dengan nafas budhe yang kian berat.
Aku mulai sedikit mengerti bagaimana memainkan emosi budhe, aku kembali meremas dengan irama yang kadang lembut, kadang kasar, bahkan kadang dengan elusan yang anggang-anggang namun penuh perasaan. Budhe hanya merengek manja dengan ulahku itu “…le kowe kok pinter saikii” rintihnya sambil mengeliat. Matanya nampak meredup. “le tanganmu enak tenan, angettt koyo ono semuteee”, melihat reaksi budhe itu aku semakin terangsang, aku semakin ramah, rajin menjamah, menguit, mengulik dan menggelintir segenap pentil kenyal itu. kadang pindah ke kiri kadang balik kekanan. Budhe kembali merintih “uedannn, enak le” terus “oukh, le!hmmmrhhhh…shh, akh” rintih budhe sambil membusungkan dada yang sedang menjadi obyek cabulku itu, aku berusaha memberikan kenikmatan maksimal untuk budheku itu, nampaknya budhe dapat meresapkan rasa geli-geli nikmat akibat ulahku itu. Capek dengan tangan aku mulai memainkan hidung dan mulutku. Hidungku mulai menyusuri segenap pori-pori yang mulai mengembang dipermukaan susu, kemudian memasukkan ujung pentil itu di lubang hidungku, kuhirup bagai menghisap in heller. Budhe hanya merintih melihat aksi nakalku itu. “okhhh le kowe pinter saiki” katanya sambil terus membusungkan dadanya, seolah memberikan kesempatan selebar-lebarnya agar aku dapat mengeksplor penuh segenap pentil nikmatnya itu.
Terlihat muka budhe semakin memerah, nafasnya semakin berat, rintihan dan geramannya yang diiringi kata-kata
” aduhhhh mati aku le, aduhhhh enak tenan le” semakin sering kudengar. Aku semakin bersemangat. pelan kubuka mulutku, dan happ pentil besar itu masuk dalam mulutku.
“aduwwwwww” jerit lirih budhe, perempuan matang yang menjadi budheku itu menggelinjang-gelinjang, ngosek, ketika aku kembali menghisap dan mengkenyot.
“terussss le sedot, kenyottt ahhhh edan enak le enakkkkk”
“hmmm!…” dua telapak tangan budhe menekan dan mengacak-acak rambutku sambil terus menekankan mulutku mengapai nikmat diujung pori-pori kulitnya. Keringat budhe mulai mengembun, menguarkan bau birahi tubuh wanita dewasa matang. Putingnya ngaceng keras memudahkanku menjepitnya dilangit-langit mulutku. Aku juga mulai terangsang. Sungguh nikmat pentil itu, renyah untuk dikulum dan digigit kenyal menjentak-jentak. Plok…ohhh plok…cpruut. Bunyi sensual yang keluar dari ulahku. Seiring semakin bervariasinya ulahku, kadang tak kulum, kadang tak lepas kadang tak gigit. Berganti-ganti kiri dan kanan. Puting itu sudah basah kunyup dengan air ludahku, tak bosan-bosan aku mempermainkannya. Bagai bayi yang betul-betul menikmati aliran lembut susu ibunya. Menyebabkan rasa geli bercampur kenikmatan kian dirasakan budheku.
“oukhhh le! teruskan dikenyot le”,
“yohhhh bener dikenyot sing kenceng”..
.”aduhhhhh enak tenan le” mulut budhe mendecap-decap seperti orang mabuk udara. dan payudara budhe semakin mengembang, pertanda budhe kian terangsang dengan ulahku itu. Lebih-lebih bila aku menaikkan pentilnya itu menyusuri langit-langit mulutku, nafas budhe jadi turun naik.
” leeee sing kenceng kenyotane le”
” aduhhh yo beneeeer, ngono le. Aughhh, leeee! enak banget!” rintih budhe. Aku semakin bersemangat. Digigit-gigitnya pentil susu yang kenyal itu. Dihisapnya. Lalu dijilatinya dengan bernafsu. Sebentar ditinggalkannya, puting itu. Lalu ganti aku mengecupi buah dada ranum itu bertubi-tubi. Lalu kembali ke pentil susu yang siap menanti. Dihisapnya lagi. Digigitinya. Dikulum-kulumnya lalu dilepaskannya lagi. Sementara tangan budhe tak menentu mengerumasi rambut ku yang baru saja potong rambut, sehingga rambutku menjadi acak-acakan.
Agak lama aku mencumbu sepasang susu yang matang menggiurkan itu. Demikian pula dengan ketek lebat budheku, tak kubiarkan menganggur. Ketiak budhe memang berbulu lebat, meskupin masih kalah lebat dengan mbak darmi ibu sambungku. setelah habis kuciumi, lalu kuturunkan ciumanku sampai ke pinggang sebelah kiri. Naik lagi ke ketiaknya, menurun lagi sampai ke pinggangnya. Demikian berulang-ulang. Aku juga menggunakan ujung lidahnya untuk menjilat-jilat sambil menggigiti keras dan lembut. “Uukh, lee Kowe sungguh pintar membahagiakan perempuan . . . !!!” bisik budhe terputus-putus, menahan nafsunya yang kian berkobar.
Dikamar sebelah juga terdengar erangan dari mbak darmi ibuku sambung. Bahkan terdengar jeritannya yang berat menambah nafsuku semakin berkobar-kobar untuk memberikan kenikmatan yang sama pada budheku itu.
Permainan lidahku terus dengan gencar menyerang tempat-tempat mengelambir di tubuh budheku yang sensitip. Kujilati juga perut budhe yang menggelembung kenyal tapi lumer itu. Pusarnya yang agak bodong itu menjadi sasaran ciuman-ciumanku berulang-ulang. Tanganku pun tak tinggal diam, membelai-belai kedua paha budhe yang mulai mengangkang resah.
Budhe sudah gemetar tubuhnya. Panas dingin. Ketika mata budhe menengok ke bawah, pandangannya beradu pada sesuatu yang mulai mengacung keras bagai tombak di antara kedua kakiku. Clegut terdengar budhe menelan ludah. Burungku itu nampaknya sudah sejak tadi menggodanya. Lalu budhe menurunkan tangannya. Digenggamnya batang burungku yang sudah sangat tegang itu. Aku menciumi sedikit di bagian bawah pusar budhe, mengendus-endus bau jembut budhe jadi menahan nafas. “Oukh. budhe . . . !” kataku meresapi jajaran nikmat yang mulai menjalari tubuh burungku. Budhe nampaknya merasakan burungku yang mulai mengembang lagi, terasa hangat dan besar. Nampaknya budhe sangat senang, dan menggenggamnya dengan cara seperti itu. Sementara itu, tanganku masih terus meraba-raba seluruh permukaan kulit budhe, yang mulai membasah oleh keringat cinta. Melihat gelagat budhe yang kian menggebu, aku berusaha menahannya. “Sabar, budhe!” bisikku. “Nanti budhe boleh berbuat apa saja terhadap punyaku. Tetapi sekarang, aku sedang ingin mencumbu tubuh budhe. Seluruh tubuh budhe! aku kangen dengan baunya, aku kangen banget budhe, jadi kurang leluasa kalau budhe menggengam burungku kaya begini!” kataku berani dengan nafas yang terputus-putus, jujur saja aku takut burungku keluar duluan, padahal aku betul-betul menginginkan percumbuan dengan budheku agak lama. Apa boleh buat. Meskipun nampaknya budhe masih ingin menggenggam batang burungku yang mulai terasa berdenyut-denyut itu, namun akhirnya dilepaskan juga, ahhhh leganya. Maka kini aku dengan leluasa melakukan aktifitas untuk membaui, mencumbu dan menguit-guit seluruh tubuh budhe, tanpa perlu harus melepaskan rasa nikmat diujung burungku.
sambungan
Dan . . . hhmmmh! aku kembali harus menahan napas bilamana pandanganku tertuju lagi pada selangkangan budhe. Bagian itu gompyok ditutupi rambut yang tebal keriting. Hmmh! Rambut kemaluan budhe bukan saja lebat dan ikal tapi menghitam! Kata orang, semakin tebal rambut kemaluan perempuan akan semakin enak kalau digituin. Dan sekarang, secara jujur, aku harus mengakui, bahwa rambut kemaluan budhe memang tebal dan lebat, meskipun punya mbak Darmi lebih liar dan pating jerabut. Aku kembali berjegut menelan ludah. Jika menuruti nafsuku, tentu seketika itu juga burungku akan kubenamkan ke belahan daging hangat di balik rimbunan hutan lebat itu.
Tetapi aku sudah sedikit pengalaman dan tidak ingin grasa-grusu. Aku ingin membuat budhe semakin ketagihan . “Oukh, le !” budhe kembali menepuk pipiku lembut. “tok apakno gawukku!”
sambil menelan ludah. “he he, anunya budhe ini lho. . . !” ujarku sambil memainkan rambut kemaluan budheku. “jembute budhe top markotop maknyuss indah dan menawan sekali” seruku dengan gaya mr. bondan, tak susul dengan perkataan menggoda “jembutnya saja sudah begini menggiurkan, apalagi kemaluanmu. Tentunya enak sekali. Hmmh!” budhe tertawa kecil melihat gayaku itu. “Kowe senang to dengan jembute budhe ?!” tanyanya sambil menarik-narik rambut jembutnya mengimbangi mataku yang melototi lebatnya jembut itu. “Senang poll, budhe. Senang sekali,” kataku masih terus dengan mesra membelai-belai rambut kemaluan yang indah itu. “kowe kok maleh pinter banget to le, wes saiki terserah to apakno gawukke budhe” serunya manja sambil mengakangkan pahanya lebar-lebar. Tanpa diperintah dua kali, akupun langsung memainkan gawuknya budhe itu. Jembutnya yang lebat langsung tak bikin bosah-baseh, setelah itu langsung tak tekan-tekan, budhe tambah ngowoh. Aku jadi semangat pelan hidungku membaui rambut jembut itu, khas banget, puas membaui aku mulai mencium-cium jembel menggelambir itu, bahkan tak jarang tak tarik-tarik dengan bibirku, he he persis berciuman bibir ketemu bibir, cuma yang ini bibir yang vertikal. Budhe hanya tersenyum melihat ulahku itu, giur-giur kenikmatan nampaknya sudah mulai menggerumuti, matanya mulai berat terbuka. Secara naluriah pahanya mulai dibuka, memapangkan gawuk yang betul indah membasah. jari-jari tanganku tak lupa untuk bermain-main diperbukitan lebat dan menjuntai itu. Hmmm, bikin kerasan banget. “le, ojok tok delok waeee to” rintih budhe yang mulai tak sabar dijelenggelekkan pinggulnya supaya aku bisa menguakkan bibir-bibir gawuknya itu. Hmm, tampak ceto bagian dalamnya kemerahan dengan lelehan yang merangsang untuk disruput. Ludahku kembali berjelegut, beginilah kiranya lubang kenikmatan itu. Dengan mesranya, aku meraba-raba gawuk yang indah itu. Merah dan licin. Pada bagian atas, pada pertemuan antara dua bibir, tampak sekerat daging yang menonjol besar, itil. Nyempil sendirian. Tidak berteman. Sungguh kasihan. Aku kembali memandangi sepuas-sepuasnya panorama indah mengesankan itu. Budhe memijit hidungku dengan agak kuat. “Oukh, le! ojok tok tonton thok ?! Memangnya punyaku barang tontonan!” aku tersenyum. Nampaknya budhe sudah kepingin sekali dikerjai gawuknya. Aku sih masih ingin lebih memandangi, bagiku gawuk budhe Titiek tak ada habis-habisnya. Gawuk budhe rasanya lebih indah dari pada vagina-vagina perempuan lain yang pernah tak lihat photonya di situs-situs porno langgananku. Jari-jari ku kembali menyentuhnya. Budhe tergelinjang. “Wow! Hmmh, leee enak!! Ss sh, akh!” budhe menggeliat. Jariku terus bermain. Mengutik-utik kelentit yang nyempil aduhai.
Aku kemudian menempatkan kepalaku di antara kedua paha budhe yang sudah mengangkang. Liang gawuk yang sebaris dengan sibakan bibir inilah yang kemarin menjepit dan memberikan kenikmatan yang tiada tara pada burung kepodangku. Lagi-lagi tanganku kembali menyentuh kelentit yang cuma sekerat itu. Budhe terjingkat dan bergelinjang merasakan nikmat yang mulai datang. Ismet koncoku ngomong , itil itu bisa berdiri dan menegang persis kontol. Benarkah?! aku jadi senang sekali menguik-nguiknya dan mengulangi perbuatannya berkali-kali. “Oukh, edan geli, le! Geliiiii! Sssh, akhh . . . !!” budhe kembali merintih-rintih.
Tingkahku saat itu, bagaikan kanak-kanak yang memperoleh permainan yang mengasyikan. Permainan yang tidak ada dijual di toko. Semakin giat aku ngulik-nguliki sekerat daging kecil itu. Semakin sering budhe mengerumasi rambutku, sambil mulutnya terus menderam-deram.
Tidak puas dengan hanya menyentuh dengan tangan saja, bibir-bibir kemaluan yang ditumbuhi rambut itu, tak plekekne semakin lebar lagi. Kedua kaki budhe kini telah niengangkang selebar-lebarnya, menekuk ke atas. Sekarang, bagian dalam kemaluan itu telah terpampang selebar-lebarnya. Terbebas sama sekali.
Sedetik kemudian, budhe hanya bisa terpekik: “Awww . . . !” Tubuhnya tersentak ke atas. ketika aku membenamkan hidungku ke dalam belahan daging yang aduhai itu. “leee cah bagusssss . . . !! Uf ! Ssssh ennnakhhh, le!!” budhe merintih-rintih sambil menekankan belakang kepala ku dengan kedua tangnnya. Hidungku pun mulai menggusur ke sana-ke mari. Seperti akan membongkar seluruh bagian gawuk budhe. Kaki budhe hanya bisa menendang-nendang ke atas, merasakan kenikmatan tidak bertara, melihat hebohnya reaksi budhe aku terus dengan giatnya menciumi gawuk budhe yang jujur saja menyebarkan bau yang segar merangsang!
“Oukh, leeee! Enak . . . enak . . . enak, sayangghhhh! Teruskan, lee! Ayo, lebih cepat sedikit. Hmmmh leee! Terus, sayang. Terus, terus, akhhhh !!”
“Aku juga, buleeeek! Aku . . . aku . . . juga enak, asinnnn koyo keju rasane” bisik ku sambil memainkan lidahku, menjilat dan menjilat.
Mata budhe jadi merem melek. Kepalanya terlempar ke sana-ke mari. Lehernya menggeleyong-geleyong. “leee! Kowe kok senang banget menciumi punyakuuuu . . . to ?!! Shhh . . . !!!” tersendat-sendat suara budhe merasakan jurus nikmat permainan lidahku. “koweeeee pinter le, enakkkk banget ohhhhh” budhe kembali mengerang, dan kurasakan cairan keju itu terus datang menyirami mulutku.
Kami berdua sudah lupa diri, kami sudah tidak memperdulikan suara-suara dari kamar bapakku, yang sudah berganti dengan suara derit bayang atau tempat tidur dengan suara ritmis persis iramanya musik klantink yang kemarin menang di acara TV swasta itu, sementara suara-suara erangan mbak Darmi juga sudah diganti dengan suara dengus bapakku yang kaya kereta api diesel jurusan surabaya-sidoarjo itu.
“kowe seneng to le dengan gawukku, kok asyikkk bangetttt ehhhhhh enakkk le terus” erang budhe sambil terus memegangi kepalaku, seperti membimbingku untuk menemukan titik-titik nikmat disekujur tempek itu.
“Senang sekali, budhe! burungku jadi semakin tegang saja, budhe!” kataku tersendat-sendat pula. Dan lidahku terus juga menjilat dan menjilat. Menyapu-nyapu itil membulat itu. Benar saja! Itil itu semakin tegak, menandakan budhe telah terbakar oleh nafsu birahi. Kedua kaki budhe Titiek terus menyentak-nyentak ke atas. Pantatnya diangkat dan digoyang-goyang. Oukh, sungguh, permainan yang mengasyikkan. aku benar-benar menyukai menciumi dan menjilati tempeknya budhe Titiek yang harum itu. Sama sekali tidak jijik. Justru sebaliknya. Ketagihan. aku jadi semakin rakus dan semakin rakus saja.
“edan leee!!! Hhhssshh. Hmmm . . . hmmmhhh!” suara budhe Titiek menggeletar. Badannya menggeliat-geliat tak menentu. Tubuhnya menggelepar-gelepar, bilamana ujung lidahku mengait-ngait dan menusuk-nusuk liang gawuk budhe yang terasa liat. Sentuhan-sentuhan lembut vagina yang berdenyut-denyut itu kian membakar nafsu birahi. Dan tiba-tiba budhe mengejang. “edan leeee . . . !! Sssh ! Akkkhhhuuu tak kuaattsss, saya ugghh . . . !!” budhe merentak-rentak.
“Ayoh, budhe! Keluarkan! Aku sudah siap menerima!” ujarku yang terus dengan bersemangat menusuk-nusuk gawuk budhe dengan ujung lidahku. “Iyyaa, leee Akhhhu shhi . . . aukhh! le! Ennnakkhhhh, meronta-ronta bagaikan kesetanan. Berbarengan dengan jeritannya yang menyayat, budhe mengangkat pantatnya tinggi-tinggi dan menekankan belakang kepalaku sekuat-kuatnya, sehingga tanpa ampun separuh wajahku terbenam sedalam-dalam ke bagian dalam gawuk budhe Titiek. Bertepatan dengan itu pula, menyemprotlah cairan hangat dan licin. Kental. Menyiram lidahku yang terus menusuk-nusuk lobang tempek enak itu.
Aku yang memang sudah siap menerima, bagaikan kesetanan, menghirup habis cairan yang banyak sekali itu. Terus dijilat dan disapu bersih, kayak makan oreo masuk ke kerongkonganku. Sudah tentu budhe semakin berkelojotan, dikarenakan rasa nikmat yang luar biasa sekali. Sampai akhirnya tetes cairan yang terakhir. Tubuh budheku itu melemas. Sedangkan aku sendiri, merasakan pula nikmat luar biasa ketika mereguk cairan licin itu. Cairan kenikmatan budheku yang gurih sekali, lebih gurih dari pada segala macam keju !
Aku masih terus tertunduk sambil menjilati sisa-sisa cipratan cairan budhe yang melekati pinggiran bibirku. Budhe bangun dan melompat, memelukku kuat-kuat. “Oukh, leee! Terima kasih, sayangl Kau hebat! Jantan! Kau mampu membuat budhe bahagia!” katanya sambil terus menciumi bibirku bertubi-tubi. “iya budhe…. Aku sampai kenyang menelan limbah nikmat budhe. Banyak dan kental sekali! “ujarku sambil nyengir. “Kowe kok ora jijik, to le ?!”
“mboten budhe,malah ketagihan je. Kalau masih ada, aku masih mau lagi kok!” kataku kekanak-kanakan. Melihat ulahku yang lucu itu, budhe tersenyum gembira, mulutku kembali diciuminya. kemudian tubuhku didorongnya, mlumah. Aku kembali melihat tubuh utuh budheku, susunya menthal-menthul, dengan gayanya budhe berkata “le kowe wes nggae budhe merem-melek sampai ngecess! Sekarang, gantian budhe yang membuat kowe merem-melek yo” ujar budhe yang segera menyergap burungku.”awwwww….!” jeritku kaget namun budhe nggrangseng habis. Burungku yang sudah benar-benar tegak bagai tugu pahlawan itu, diciumi habis-habisan, diklomoti dan dijering-jering glambirku. Dengan mesra namun penuh kejutan budhe mempermainkan burungku. Batangku yang kekar, lengkap dengan topi cendawannya digigiti pelan, bahkan kadang-kadang dikecup ceruput.
“Oukh, manukmu hebat sekali, le ! besar dan kekar. Hmmhh . . . !!!” budhe terus saja membelai sambil sesekali menggenggam. Mulai dari pangkalnya yang mulai dipenuhi rambut itu sampai ke ujungnya yang berkilat dan membengkak, berbentuk topi cendawan. “budhe senang manukku ya?!” tanyaku sambil membiarkan budhe mengeser-geserkan burungku yang keras banget itu ke pipi dan matanya. “Suka sekali, le! Tetapi ugh! Punyamu besar kokoh. Bengkak, bedo banget karo duwekke pakdemu, Parjo! Aku jadi ketagihan!” aku tertawa kecil. “budhe ini bisa saja. Kan punya pakde juga besar to!, “Iya! Tetapi punyamu ini lebih besar dan gemuk le!” ujar budhe.
Aku ketawa lagi. Burungku berkejat-kejat digenggaman budhe. “Aku belum pernah merasakan manuk yang besar dan gemuk kayak punyamu ini le,” ujar budhe lagi.
Ada rasa geli dan nikmat bukan main ketika budhe menciumi burungku yang semakin membengkak itu. Rasa geli yang nikmat itu kurasakan ketika bibirnya budhe yang domble itu mengempit-empit kulit burungku. Tubuhku jadikejang. Mataku membeliak-beliak. “Hmmh, enak budhe! Sssh . . . !” mulutku mulai merintih-rintih, melihatku yang mulai berkejit-kejit itu budhe tanggap dijethetnya otot geli antara topi jamurku dengan burungku, sehingga semut-semut nimat yang mulai merembes dari ujung tahitiku pelan mulai turun lagi.
Setelah dirasakan agak terkendali budhe kembali memainkan ujung lidah yang runcing kasap itu untuk menciumi benda gemuk punyaku itu. Benda yang dapat memberikan kenikmatan luar biasa kepada wanita, yang disebut alat vital itu. “le…! wong wedhok endi wae yang sudah pernah kenai ini, pasti pada ketagihan!” ujar budhe yang membuat hidungku mekrok bangga. aku tidak menjawab namun mendacap-decap bagaikan orang kepedasan. Tengah meresapkan kenikmatan yang luaz biasa. Lezat!
Alat vitalku yang ada dalam genggaman budhe Titiek semakin membengkak dan semakin memanjang lagi. Budhe gemas bukan main, semakin tak tahan. Segera dia menempatkan dirinya sebaik-baiknya diantara kedua kakiku yang tertekuk ngangkang. Kedua pahaku di terlentangkan selebar-lebarnya, sehingga tangan kanan budhe dapat menggenggam burungku yang kencang itu, tangan kirinya membelal-belai rambut kemaluanku yang mulai tumbuh jemagar itu, tumbuh halus sampai ke pusar. Merinding bulu-bulu roma budhe bilamana dia mulai menciumi seluruh batang dan kepala burungku. Bukan main. Jari-jari budheku hampir tidak muat menggenggamnya. Memang inilah yang sangat disukai budhe dariku. Dulu, punyanya pakde juga begitu namun sejak pakde tiada budhe kesulitan mendapatnya kembali. Dan sejak itu, budhe sangat merindukannya. Dan baru sekarang, dia memperolehnya kembali setelah bertahun-tahun berselang. budhe yang semakin gemas segera menjulurkan lidahnya, menjilat batang kemaluanku itu. Lalu dingangakan mulutnya dan dimasukkannya batang burungku itu. Aku jadi menggelinjang kaget namun nikmat. “Ouw, budhe! Hmmh . . . enak sekali, budhe!” rintihku. Kedua kakiku spontan terangkat naik dan menyepak-neyepak ke atas.
Mendengar rintihanku, budhe jadi semakin bersemangat. Kepala burungku yang berbentuk topi baja itu dikulumnya. Digigitnya. Tidak ubahnya, bagai seseorang yang mendapat makanan lezat. Nikmat sekali. Sampai matanya terpejam-pejani. Air liurnya menetes-netes. Kepala yang berbentuk topi baja itu sangat hangat dan kenyal. Aku merasakan nikmat banget. Kunyahan-kunyahan mulut budhe memberikan rasa nikmat dan merangsang nafsuku sampai keumbun-umbun. Aku hanya bisa merintih-rintih. Kedua kakiku semakin kelojotan. Mataku membeliak-beliak, sehingga terperecing nikmat. Budhe kian bersemangat. Sekarang, bukan hanya kepalanya saja yang dikulum dan digigiti budhe, tetapi seluruh batang vitalku. Sementara itu, telapak tangan budhe juga tidak tinggal diam disaat mulutnya mengulum, tangannya menarik-narik rambut kemaluanku , tangan yang satu lagi mempermainkan gamberku. “Enak, le . . . ?!” tanya budheku ditengah-tengah kesibukannya. “Enak sekali budhe. Ennaaakkkh !!!” aku berusaha menyahuti dengan terbata-bata merasakan giuran nikmat yang bukan kepalang. Budhe terus saja mencicip-cicip batang burungku, dengan irama yang kian lama kian cepat, mengemut, menjilat, menggigit, sampai mengkenyot. Demikianlah secara beraturan, kepala dan batang burungku keluar masuk mulut budhe Titiek. Pada waktu masuk, mulut budhe sampai kempot. Sedangkan pada waktu keluar sampai monyong. Semakin lama semakin cepat. Tubuhku gemetar. Jemariku mencengkeram rambut budhe kuat-kuat. Rintihan . . . rintihanku semakin menghebat, sementara budhe kian gencar menyerbu menggebu-gebu. Akhirnya, kenimtan itu datang aku hanya bisa menjerit histeris. Pantatku kuangkat tinggi-tunggi, sedangkan kedua telapak tanganku menekan belakang kepala budhe Titiek kuat-kuat. Akibatnya batang serta kepala kemaluanku pun membenam sedalam-dalamnya, merojok sampai ke tenggorokan budhe. Dengan bersemangat sekali, tangan-tangan budhe mengocok pangkal kemaluanku dengan cepat dan mesra. Dan tanpa ampun lagi : “Crroott! Crrrroooottss! Crrottttsssss . . . !!!” menyemprotlah cairan kental dari dalam batang kemaluanku yang berdenyut-denyut dengan dahsyatnya. Daya semprotnya luar biasa sekali. Tubuhku menggigil. Budhe tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan nikmat sekali disedotnya batang kemaluanku yang sedang mengeluarkan wedhus gembel itu. Maka tanpa ampun, bergumpal-gumpal awan panas cairan kenikmatanku, tertumpah semuanya ke dalam mulut dan tenggorokan budhe. Mata budhe sampai terpejam-pejam, menelan seluruhnya sampai tetes terakhir. Aku melenguh nikmat memejamkan mataku. Tubuhku lemas tidak bertenaga. “Oukh, budhe. enak banget, budhe sungguh hebat!” bisikku terengah-engah. Budhe tertawa geli melihat ulahku yang mengcopy paste kenikmatannya itu sambil menyeka mulutnya yang sebagian masih dibasahi sisa-sisa cairan kental. “piye le ?! Enak?!” tanyanya
Aku langsung menarik lengan budhe, sehingga perempuan itu jatuh ke dalam dekapanku. “Enak sekali,budhe. Oukh, enak sekali! ujarku sambil menciumi mukanya dan membenamkan mukaku dikeleknya yang membasah itu, aku hirup lagi bau yang memabukkan itu untuk membangkitkan asaku lagi. Budhe tersenyum mendengar pujianku, “hmmmm kok isik pancet seneng ngambungi kelekku budhe to le, wes ndang jupukno ngombe. budhe ngelak banget!” ujar budhe Titiek sambil mendorongku bangkit lepas dari jepitan kelek basahnya itu. Lalu aku melompat turun dari tempat tidur, menuangkan air putih dari kendi besar ke gelas sampai penuh. Kemudian memberikannya pada budhe Titiek, yang lalu diteguknya dengan lahap. Haus sekali rupanya. Sampai habis tiga perempat gelas. Melihat itu aku kembali menuangkan ke gelas lagi sampai penuh, kemudian meneguknya sampai habis. “leee panji. . . !” mata budhe berkejap-kejap. Punyaku sudah ingin sekali dimasuki punyamu.” Dan budhe melirik ke selangkangan ku dengan kerlingan mautnya. Tol gothoku masih tegang mengacung nampaknya membuatnya terkiyer-kiyer.
“Kita istirahat dulu sebentar ya, budhe!” bisikku sambil menciumi mukanya, dan menghisap halus bibirnya yang basah oleh air kendi itu . Aku lalu turun dan mengambil gelas itu lagi, dan meneguk habis sisa air putih itu. Setelah rasa haus itu hilang aku lalu menghampiri budhe yang tidur terlentang dengan kelek lebat dibiarkan terbuka lebar, aku jadi bernafsu. Aku langsung naik ke atas tubuh budhe yang sudah siap menanti. Kedua susunya menyembul putih bagaikan salju. Benar-benar menantang. Pinggangnya yang penuh sekal dan pinggulnya mekar dan indah. aku langsung menciumi bahu dan payudara budhe dan menghirup bau keringatnya untuk menaikkan kadar birahiku lagi, sementara burungku yang sudah mulai benar-benar tegang kugeser-geserkan di paha budhe Titiek, budhe lalu menggenggam batang burungku yang mulai kekar itu. Sambil membalas ciuman-ciumanku yang bertubi-tubi, dibimbingnya dan kemudian ditempatkannya kepala kemaluan yang sudah membengkak tepat di ambang gua garbanya itu. Sementara itu, kedua paha budhe juga sudah direntangkannya selebar-lebarnya. “leeeee . . . !! Pelan-pelannn, yo ben kroso enakke!!” bisik budhe gemetar menahan nafsu. “barangmu gede banget le! kroso bangettt” gruguh budhe yang nampaknya merasa enaknya sumbatan burungku di lubang kenikmatannya. Aku merasakan sengatan hangat membasah di kepala jamurku. “…le, tekanen, tekan yang kuattt. ssssssss…aduhhhh enake” budhe memejamkan matanya merasakan nikmatnya proses penetrasi itu. Aku lalu mendorong pantatku, tidak tergesa-gesa untuk merasakan nikmatnya jepitan lubang hangat nonoknya budhe. “awwwww le edannnn!!, enak banget” jerit budhe tertahan ketika kepala jamurku melesat mentok, tubuh budhe mengejang, bergetar menahan rasa nikmat yang amat sangat. Aku merasakan jepitan keras, hangat melumuri kepala jamurku, menguik-mengekos dan menghisap dengan kuat. Bukan main nikmatnya. “ayo…le, tekan maneh, sing kuahhht “” bisik budhe setelah rasa enak itu berkurang. aku lalu menekan lagi. Dan srrrt! , batang burungku luar itu melesak lagi sampai sepertiga. Dan sebagaimana yang pertama, dan budhe kembali tersentak sambil menjerit: “Addduuhhh! leeeeee! enaaannn tenan manukmu” sambil tersenyum dan berulang mengecupi mulutku.
Aku membiarkan burungku membenam sepenuhnya, kemudian dengan perlahan-lahan kutarik sampai sebatas leher kemaluan. Lalu kutekan kembali. Dan batang burungku dengan lincah itupun menggelosor keluar masuk. Lagi-lagi budhe merasakan kemaluanku bagaikan membongkar seluruh lorong vaginanya. Budhe terus menggigit bibirnya sendiri, menahan rasa nikmat dan nikmat. burungku yang keluar masuk mulai mendatangkan rasa nikmat luar biasa. Keluar-masuk. Keluar masuk! Demikian berulang-ulang. Bless! Slessep! Bless! Slessep! Bagaikan kereta api yang sedang langsir. . Pada waktu didorong masuk, nonok budhe sampai kempot. Dan pada waktu ditarik, sampai monyong . . . Hmmm! tempek-e budhe enak tenan. Sempit sekali menggilas seluruh burungku,” kataku sambil mencucup mesra seluruh wajah budheku.
“kontolmu enak banget juga le,” ujar budhe sambil menggoyang-goyangkan pantatnya. Hal ini semakin mendatangkan nikmat bagiku. Demikian pula bagi budhe Titiek. Pinggulnya yang besar dan montok itu melakukan gerakan memutar, seirama dengan keluar-masuknya batang zakarku. “Bagaimana, le?! enak to..?!” tanya budhe sambil mengecupi belakang telingaku. Akupun menggelinjang-gelinjang kegelian. “Kontolmu juan enak le! Betul-betul lezat.” bisik budhe sambil mencari-cari lidahku untuk dihisapnya. Keringatku dan budhe kembali bersatu menimbulkan decit menggairahkan ketika kami bergerak ritmis. Untuk membangkitkan nafsuku makin tinggi, budhe Titiek secara sengaja membuka lebar-lebar ketiaknya yang basah, dan dengan nafsu pula aku membenamkan mukaku ke kelek lebat itu, bahkan kadang-kadang dengan nakal aku menggigit buhul keleknya dengan sengaja, dan secara reflek budhe lalu memelukku dan mengempitnya dengan kuat, sambil mengoyangkan pantatnya geal-geol. melihat ulahnya itu aku hanya bisa merintih, “Enak banget budhe. Kepala burungku bagaikan dipijit dan disedot-sedot. Pokoknya lezaaatttss . . . !!” aku hanya bisa meliuk-liukan tubuhku ke sana-ke mari. merasakan kenikmatan yang luar biasa sebagai akibat pijitan-pijitan dinding-dinding lorong kemaluan budhe yang bagaikan memangsa burungku hidup-hidup. Sementara itu, cairan lendir semakin membajiri gua garbo budheku. licin dan basah. “hmmmm mpek budhe enak banget, basah dan peret ” bisikku dengan mesranya. “Bagaimana budhe kalau kontolku kubenamkan seluruhnya?!” “Ayoh, leeee! Aku sudah siap,” kata budhe Titiek sambil mengangkangkan kedua pahanya lebih lebar.
Aku pun dengan semangat mendorong pantatku sehingga kemaluan budhe lebih dalam membenam batang burungku utuh. Blesss! Wow!, aku bagaikan melayang ke langit ketujuh. Terasa benar bagaimana menggelosornnya lubang nikmat itu, memijat, menghisap burungku. Nikmat sekali. “Masukkan semua,leeee! Semuaaaa! Jangan disisakan laghhiiiii! Masukkan, dorongghh . . . .!!” kaki budhe menjepit pinggangku. Dan tangannya, berusaha mendorong pantat ku semakin ke bawah. Aku mengerti, budhe sudah histeris. Sudah ingin menikmati seluruh batang kemaluannya tanpa sisa lagi. Aku coba menggodanya, bukannya mendorong malah kuangkat pantatku. Dan kemaluannya menggelosor ke luar. Budhe jadi penasaran. Diangkatnya pantatnya setinggi-tingginya. Bertepatan dengan itu, aku mengayunkan pantatku kuat-kuat. Dan … blashhh!! Tanpa ampun, seluruh batang kemaluanku yang kokoh, gemuk. . . dan perkasa itu menghunjam dan membenam sedalam-dalamnya ke liang kenimatan budhe Titiek. budhe menjerit sekuat-kuatnya. Tubuhnya meronta-ronta ke sana-ke mari, bagaikan sapi disembelih. Dan, “Crot! Crrrt! Crrrotttss . . . !!” semua cairan mani yang tersimpan di dalam kandungannya, menyemprot seketika. Banyak sekali. Membanjiri seluruh lobang gua budhe. Suatu kenikmatan luar biasa yang sebelumnya pernah dirasakan oleh budhe Titiek kemarin. Dan bersamaan dengan jeritan budhe, aku pun mengeram kuat. sambil merangkul tubuh budhe kuat-kuat. Budhe Titiek merasakan tubuhnya bagaikan remuk. Hmmmh!” Akh. budhekkk! Hmmm! Akkkkhhhuuu keluarrr, sssh! budeeekkk . . . sssh, ennnnaakhh!!” aku meracau sambil meronta-ronta. Mataku membeliak-beliak ke atas, sementara kepalaku terlontar ke sana-ke mari. Dan bersamaan dengan itu, aku merasakan batang burungku berdenyut-denyut keras dan memuntahkan lahar panas. Berkali-kali terasa semprotan-semprotan itu. Maka lobang kemaluan budhe pun semakin membanjir.
Setelah beberapa detik lamanya merasakan diriku terlontar ke angkasa, aku merasakan diriku lemas, nglumpruk tanpa daya diatas tubuh budhe yang mandi keringat. Kemudian budhe menggulirkan tubuhku disampingnya. Kami berdua merasakan kepuasan amat sangat. Budhe dengan nakal lalu memijit hidung ku. “edan tenan le,” bisik budhe Titiek. “Kaulah satu-satunya lelaki yang berhasil memuaskan budhe le..!Sungguh!” “Aku juga begitu, budhe. Lalu budhe mengecup keningku dengan mesranya. Aku kembali menyeruakkan mukaku untuk sembunyi dibalik ketek budheku yang lebat itu. Budhe pun lalu membuka lebar keleknya dan memberikan kesempatan padaku untuk menghirup sepuas-puasnya aroma tubuhnya. Pelan-pelan mataku terasa berat dan kemudian aku tertidur nyenyak.
Ketika aku membuka mataku, ternyata matahari telah naik tinggi. Budhe sudah tidak ada disampingku, yang tinggal hanya bau tubuhnya yang menempel erat di pucuk hidungku. Sinar matahari yang menerobos dari ventilasi, jatuh tepat ke wajahku. Terasa panas. Aku masih telanjang bulat. Burungku mulai mengacung penuh lagi. Tubuhku yang kerampeng sangat tidak cocok menopang burungku yang panjang dan gemuk itu, kaya tampelan rasanya. Dengan malas-malasan aku melompat bangun! jam dinding di kamarku telah menunjukkan pukul sembilan pagi. Oukh! Tadi sebelum tidur, tenagaku benar-benar habis. Namun sekarang, aku merasa segar kembali. Burungku masih berkokok dengan garang, terasa dorongan air kencing memenuhi kantong kencingku. Aku mendengar suara cekikikan perempuan. Aku mengenali salah seorang diantaranya. Suara tawa budhe Titiek. Tetapi siapa seorang lagi! Aku bangkit dari duduk dan ke luar dari kamar, dengan hanya memakai celana pendek tanpa celana dalam.
“Nah, dia sudah bangun . . . ! suara budhe Titiek. “leeeee! iki lho ibumu pengin ndelok manukmu! katanya manja, mbak Darmi, ibu sambungku tertawa tertahan, aku menjadi tersipu-sipu melihat pandangan dua orang dewasa yang hampir menguliti seluruh tubuhku. “opo bener, tole panji iki kuat tenan to yu..” bisik mbak Darmi tanpa canggung ke arah budhe Titiek, “weeeh tole iki top markotop mbakyu, aku mau bengi sampai termehek-mehek je!” kata budhe sambil mengerlingku manja. Aku yang sedang dibicarakan jadi salah tingkah, “wes le ndang adus kono, engkok sarapan wong telu, bapakmu mau wes budhal nong kalimantan” seru budhe Titiek, aku jadi merasa plong. Entah bagaimana aku betul-betul terpana melihat mbak Darmi, ibuku sambung yang pagi itu memakai daster tanpa lengan warna merah muda kelihatan mencorong cantik, apalagi dihiasi rambut tebal basah yang disanggulnya pakai handuk, lehernya sangat jenjang dihiasi rambut-rambut halus merunai. Budhe yang melihatku nanar menatap ibuku sambung jadi kumat isengnya, “le…aduse ojok suwe-suwe, ndak usah ngloco lho”, mbak Darmi ketawa ngekek melihat ulah budhe Titiek. Aku langsung cepat-cepat ke kamar mandi diiringi tawa dua orang dewasa dibelakangku.
Dikamar mandi aku sempat memandangi bekas-bekas pakaian dalam budhe Titiek dan mbak Darmi ibuku sambung. Kotang yang warna merah maron itu pasti punyanya mbak Darmi, aku hafal karena kemarin itulah yang aku ambil dikamar bapakku. Kotang merah maron itu betul-betul menggodaku, sementara kotang yang berwarna coklat susu itu pasti punya budhe Titiek, karena aku tadi malam yang membukanya, dan mengeremusi isinya. Aku jadi pengin membaui lagi kotang merah maron itu, aku sudah hafal dengan baunya, bau keringat ibuku sambung yang agak manis. Pelan-pelan kotang itu aku ambil, dan dengan penuh harap aku ciumi seluruh permukaan kainnya, hmmm betul ini keringat mbak Darmi ibuku sambung. Pelan-pelan terasa juluran rasa panas dari ujung selakanganku menikmati bau itu. Aku jadi kesetanan, kuhirup habis-habisan seluruh permukaan kain itu, bau yang agak menyengat tajam tercium didekat lingkaran ketiak, bau khas ketiak wanita berbulu lebat. Pelan-pelan burungku bangun seiring dengan fantasiku dalam mencucup bau itu. Kemudian aku susuri pula tali kotang itu, terasa bau yang lain lagi, bau yang membuatku makin mabuk bau yang sangat khas agak asam tapi merangsang banget. Belum sempat kutelusuri bau didekat kaitan kotang itu, budhe Titiek sudah mengetuk pintu agak keras, “le…bukaken lawange, budhe kebelit pipis” serunya. Aku agak dongkol karena merasa terganggu, namun karena budheku ngotot, maka kubukaan pintu. Aku agak terkejut ternyata budhe tidak sendirian, ternyata ibu sambungku juga mengintili dibelakangnya, kontan kotang itu aku lepaskan. Rasa malu yang luar biasa menerpaku. “hayooo…tok apakno kutange ibu le” serunya sambil masuk ke dalam kamar mandi. Aku jadi serba salah burungku yang besar gemuk itu jelas menunjukkan, bahwa aku sedang mengapa-ngapain kotang ibu sambungku. “bocah iki kudu dijewer yu” kata ibu sambungku sambil menghampiriku, budhe hanya ngikik dan berkata ” yo…yu dihukum wae tole panji iki” katanya sambil memegang dan menyeret burungku dengan rasa sayang. Aku bener-bener salah tingkah dikeroyok dua wanita dewasa di kamar mandi yang sempit itu.
Belum sempat bernafas, ternyata budhe Titiek sudah melepaskan dasternya. Kembali aku melihat tubuh budheku yang tadi malam sempat kunikmati inchi demi inchi. Melihat tingkah budhe Titiek, mbak Darmi ibuku sambung tidak mau kalah, dibukanya pula daster itu, aku hanya bisa ngowoh melihat tubuhnya yang sekal dengan ketek yang tidak kalah lebat ikut menghampiriku dan memepetkan susunya kearah mukaku. Aku jadi gelapan “boleh to le aku merasakan manukmu yang kemencur itu” kata mbak Darmi sambil menatapku manja, sementara budhe yang melihatku sedang terpesona dengan tubuh ibu sambungku lalu jongkok, dan terasa kehangatan bibirnya masuk dan menggeloti burungku yang sudah tegak setegak tegaknya itu. “ehhh boleh buk”kataku sambil mendesis nikmat merasakan kuluman budheku dibawah. “bener le…kamu bersedia kan! memberikan rasa nikmat itu ke ibumu sambung ini!” ujar mbak Darmi agak gagap menahan nafsu melihat budhe Titiek dengan ganas mempermainkan batang kejantananku itu. “ehhh nggih, boleh” kataku terbata-bata.
Budhe Titiek hanya tertawa-tawa kecil ketika melihat mbak Darmi dengan ganas lalu mengecupi bibir dan seluruh wajahku bertubi-tubi. Aku tidak mau kalah, giliran pula lehernya yang jenjang merangsang aku telusuri membaui. Lalu giliran pentil-pentil susunya yang tegak merangsang itu aku raba pelan. Uf! Ternyata menggeluti mbak Darmi lebih mengasyikkan. Buah dadanya memang lebih kecil dibanding buah dada budhe Titiek, tapi lebih padat dan kenyal, elastis. Pentil susunya pun lebih cepat bereaksi keras jadi sungguh merangsang! Demikian pula bukit kemaluannya. Lebih mumbul. Rambut kemaluannya jauh lebih lebat dibanding milik budhe Titiek!
“leeeeee! Ehg. Aukhhhh . . . !!!” mbak Darmi menjerit sejadi-jadinya bilamana puting susunya yang kenyal itu kukenyot dengan keras. Mendengar jeritan yang gaya dari ibu sambungku itu aku makin bersemangat, tangannya langsung kuangkat, dan dengan rakus pula aku jilati habis ketiak superlebat itu, dan dengan gemas kutarik pelan dengan geligiku, “leeeeeeee!ehg, sssakitttth…!!” kata ibu sambungku sambil mengerang. Budhe yang mendengar erangan kesakitan itu, langsung melepas kuluman batang burungku. “Tahankan, mbak. Tahankan!” ujar budhe Titiek sambil memegangi kedua lengan ibu sambungku. “Nantipun mbakyu akan merasakan gelinak, geli-geli terenak dikeleti oleh tole panji” Benar saja. Kalau tadi, ibu sambungku merasa sakit dan jengah kuciumi keleknya, saat ini kulihat dia sudah mulai menikmati. Apalagi dibantu dengan jilatan-jilatan lembut dan kuluman serta kenyotan diputing susunya oleh budhe Titiek. Yang terdengar sekarang adalah desis kenikmatan menggantikan rasa sakit dan jengah itu. Aku sendiri jadi kian bernafsu melihat bentangan kelek superlebat serta ulah ganas dari budheku yang menggremusi sekujur puting susu ibu sambungku. burungku yang nganggur pelan-pelan diraihnya, digosokkan dijembutnya yang lebat, dan pelan-pelan kepala jamurku dimasukkan ke lubang nikmat ibu sambungku. “leeeee! aduhhhhhh!!!, enak tenan” gruguh ibu sambungku bilamana kepala jamurku yang gemuk dan keras itu mulai menyeruak lobang gawuknya, yang sebetulnya masih sangat kecil dan sempit, maklum punya bapakku tidak sebesar punyaku, ge er nih mode on. “aduhhh le alon-alon isik perih banget” bisik ibuku dengan mulut terkerinying-kerenying merasakan sakitnya, sakit tapi nikmat. Budheku yang melihat aksi binal itu malah membantu menekan kemaluanku untuk masuk lebih jauh “tahan mbakyu, mengko mesti enak nek wes mlebu menthok kontole tole panji” suportnya ke ibu sambungku. “iyo…yu, tapi aku gurung nate dilebone ****** gedene sak jaran iki” kata ibu sambungku sambil menahan nafas menikmati sensasi blesnya burung kebanggaanku itu.
Setelah pelumasan terjadi dengan sempurna, apa yang dikatakan budhe Titiek benar. Kalau tadi, mbak Darmi ibu sambungku merasakan sakit luar biasa, lama kelamaan rasa sakit itu hilang, berganti dengan rasa enak luar biasa. Sudah tentu mbak Darmi ibu sambungku jadi senang sekali. Gerakan-gerakan memutar pantat dan pinggulnya menjadi tarian salsa yang menyenangkan, sangat romantis. Di bawah budhe Titiek mengelomoti gambirku, diatasnya ibu sambungku menggeol-geol pantatnya dengan ritmis seirama dengan ayunan-ayunan pantat ku yang maju mundur dan sesekali melakukan gerakan memutar yang aduhai. “Oukh., benerrr yu, kontole tole ! Ennnaakhhh, tenan. . . !” desis mbak Darmi ibu sambungku berulang-ulang.
Melihat aksi saur manuk antara budhe dan ibuku sambung aku hanya tersenyum sambil terus menggoes bukit kemaluan ibuku yang cembung mengerombyok itu. Budheku yang melihat aksi saling tukar geyolan panggul itu, mulai ikut panas, budhe langsung berdiri dan mendekatkan puting susunya yang hitam sak jempol itu kemulutku. Akupun mengerti, bahwa budhe ingin aku mengerjai susunya.
“ayo le! kenyoten penthilku iki, ojok gawukke makmu wae.., penthilku iyo guatel banget je” ujar budhe dengan suara sengau tak menentu. melihat rengekan sengau itu aku jadi kasihan, jadilah aku melakukan dua macam kesibukan sekaligus. Sementara kemaluanku menerobos keluar masuk belahan daging mbak Darmi ibu sambungku, mulutku dengan mesra menciumi penthil budhe Titiek yang sudah mekar menantang.
“aduhhh le enak tenan, duh yu kontole tole enak yo” desah ibuku sambung menikmati aksi geolanku itu. belum sempat kusauti, budhe sudah ikut-ikutan mendesis “hmmmm, le!enak banget kenyotanhmu! terussss le…yahhhhh disedot sayangggghhh! penthile dicakot cilik-cilik le! iyahhhhh!Pinter le! uffff!hmmmm,….aduhhhhh!gigit, le gigggggggihhhht…!! desah budhe sambil menekankan kepalaku ke buah dadanya yang sekal lumer itu.
“Besssss!”
“Sluprutssssep!”
“Blessss!”
“Ahk . . . ih!”
“Oukh . . . !!”
“Hmhhh !!”
Berbagai suara, ditingkah dengan berkecipak mulutku menciumi penthil budhe yang timbul tenggelam kadang menonjol kadang melebar kena sapu lidahku berjcampur dengan erangan mbak Darmi yang kalengan menikmati juluran nikmat kontolku, terdengar sangat merdu dan mesra. Mulut gawuke ibu sambung yang sempit itu ikut monyong ketika aku menarik dan memasukkan burungku ke sarangnya dan sampai kempot melesak ke dalam pada waktu aku mengamblaskannya. Jadilah kami diruang sempit itu bertarung mati-matian berburu nikmat, sampai akhirnya mbak Darmi ibu sambungku melolong hebat disusul dengan kejang-kejangnya pinggulnya, sementara budhe tidak mau kalau tangannya terus menekan belakang kepalaku sekuat-kuatnya, sambil menjerit histeris dengan tangan satunya menggelosohi biji kelititnya, ternyata budhe Titiek melalukan solo run untuk mengejar kenikmatan yang sama
“leeeeeeee panjiiiiiihhhh !AkhhhuUUu mettttuuuuuu . . . !!! Sshhh . . . akkkkhhh . . . mabkyuuuuu edannnnnnn !!” dan ibuku sambil setengah melengkung, meliuk-liuk tubuhnya seperti orang kesetanan ! Kepalanya terlempar ke sana-ke mari. Dengkulnya gemetar sekali. Punggungnya setengah menekuk, bagaikan udang tangannya meremas-remas dan menjambak jambak rambut budhe Titiek yang ada disampingnya sampai budhe merasakan sakit. Namun bercampur kenikmatan. Pada saat itu pula budhe juga merasakan semburan-semburan lahar panas dari dalam lorong vaginanya membasahi tangannya. Banyak sekali. Kental dan licin. aku yang masih jauhhhhh bagaikan orang yang kehausan langsung mengambil tangan budhe dan mengelomoti cairan kejunya itu, dengan tanpa tersisa lagi. Terasa gurih dan harum! mbak Darmi langsung menggelosoh membiarkan burungku lepas, ploph! dengan nafas satu-satu memandangi budhe Titiek yang langsung menggambil batang burungku, dan memasukkannya dimulutnya yang domble itu.
Setelah itu pelan-pelan dirinya nungging dan memintaku menusuknya dari belakang, jadilah kami bertarung dengan gaya asu kawin. Mendapatkan sodokanku yang keras sampai menyenggol bonggol itilnya, budhe langsung mendesis nikmat panjang “aduhhhhhhh leeeee tobat uedannnnn tenan enakkkkhhhh” Dua menit setelah jatuhnya mbak Darmi ibuku sambung dalam kenikmatan yang sangat, kini giliran budhe Titiek menjerit-jerit histeris. Tubuhnya berkelojotan, seperti ayam disembelih. Menggelepar-gelapar. “Oukh, leeeeee! Akhhuuuu keluarrrhhhh!!! Ssshhh, leeee! Akkhhh! Ennnnnaaakhhhh !!! dan budhe Titiek tidak lagi mampu mempertahankan bentengnya. Bobol seketika. Lahar menyembur-nyembur terbeliak-beliak. Aku pun merasakan hal yang sama lahar dikawahku juga pengin menyembur dengan kuat, dengan erangan aku segera mempercepat tusukanku, dan dengan pelukan yang hangat dari budhe yang mencoba meraih kepalaku melalui ketiaknya yang lebat itu, aku langsung menciuminya dengan ganas, mengambil seluruh isi mulutnya dengan lidahku. Tercium aroma keringat dari ketiak budhe ketika adegan itu, menambah sungsum nikmat sampai keumbun-umbun. Namun lahar itupun juga tumpah, aku terus menggonjotnya meremas penthilnya untuk mendorong laju lahar dari tubuhku. “ohhhhh le, kowe rosa-rosa tenan le” seru budhe sambil menggeol-geolkan pantatnya untuk mempercepat keluar pejuhku. “leeee, Akkhhuuu lemassss Lettttiih Isti . . . rahattsss duluuu, yo le! !!” budheku merintih-rintih minta jeda. “Sebentar, budhekkjjj. Tanggung, nih! Tahan dulu yaaak budhe!” ujarku tersendat-sendat.
“Ampun, leeeeeee!Ampunnnnn! !!” mendengar rintihan-rintihan budhe titiek. Aku semakin ganas dan bersemangat menghujamkan batang kemaluanku. Budhe Titiek meronta-ronta. Terpaksa aku memeluk tubuh budhe dengan kedua tanganku. Dan burungku terus sibuk bekerja. Blassssh! Slesssepsss!Srrrt! Blassshhhh ! !!” weeesssss leeeeee, lereeeeen yooooo ! Ampunnn !”
“Sebentar, budhes . . . !!”seruku sambil mengelomoti leher dan telinganya. Nampaknya nafsu budhe mulai bangkit lagi dari letih, lemas dan tidak bertenaga, akhirnya budhe Titiek jadi bernafsu lagi, itupun karena bukit kemaluannya terus menerus diserbu habis-habisan oleh burungku yang pagi itu sangat perkasa. Akhirnya budhe Titiek kembali menggoyang-goyangkan pinggulnya, memutar-mutar romantis. “edan leeee, . !! Uukh, kau sungguh perkasa dan pintar. Aku jadi nafsu lagi. Enak tenan, lee!!” budhe Titiek mengerumasi rambutku dengan mengangkat ketiak lebatnya tinggi-tinggi, menguarkan bau ketek yang sangat merangsang nafsu. Jadilah kami terus bertarung, mendaki bukit yang terjal, dengan gaya ****** kenthu.
Lima belas menit kemiudian, barulah kami berdua mencapai orgasme secara bersamaan. “budheeeeeek! Akkkhhuuuu kelluuuarrr, ssshhh . . . ! Akkkkhhhh !! Oukh !!” akupun menggeram hebat bagaikan harimau lapar bertemu lawan. Kedua lenganku yang kaya kepiting itu memeluk dan menekan tubuh budhe sekuat-kuatnya, sehingga budhe merasakan tubuhnya remuk seketika. “Oukh, leeee! Akhhhuuu jughhhaaa kelluarrr . . . sssh, akhhhhh !!” Banjirlah lorong vagina yang sempit itu, sehingga sebagian menetes-netes ke luar, . Semprotan-semprotan bertubi-tubi telah menyemburkan cairan yang luar biasa banyaknya, saling bercampur kental, hangat dan licin! Hmmmmmh, benar-benar sorga dunia!
Setelah rasa lemes itu hilang, kami bertiga mandi bersama, saling menyabuni saling menyentuh, menggosok dan akhirnya saling bertukar cium, bertukar ludah, dan saling mengelus yang akhirnya memaksa kami berpacu lagi menembus dinginnya kamar mandi itu. Aku jejaka kemencur itu telah dilantik menjadi pejantan tangguh oleh budheku dan juga mbak Darmi ibuku sambung. Bahkan pernah dalam satu hari aku tidak sempat memakai celana kolor, karena mereka berdua saling membagi nikmat dan memintaku untuk dilayani.